Rabu, 29 Agustus 2012

Syekh Azra'i- Karya Dr. Ahmad Zuhri, MA


Dr. H. Ahmad Zuhri, MA




Syekh al-Qurra'
شيخ القراء

Azra'i Abdurrauf, Pemikiran, dan Perannya dalam Mengembangkan Ilmu-ilmu Al-Qur'an







Kata Pengantar
            Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi Mihammad saw. Keluarga dan para sahabatnya.
            Para Ulama terdahulu telah mengetahui kedudukan Al-Qur'an dan pengaruhnya bagi kehidupan hati, sehingga mereka benar-benar melakukan interaksi positif dengan Al-Qur'an, seperti membaca, memahami, mempelajari tajwid, fashahah, lagu, menafsirkan dan mengamalkannya sehingga mereka berjalan dengan jasad mereka.
Syekh Azra'I Abdurrauf adalah salah satu Ulama diantara Ulama yang berasal dari Kota Medan, Sumatera Utara yang dikenal dengan segala kemampuan keilmuannya, khususnya dalam disiplin ilmu yang terkait dengan Al-Qur'an, baik tajwid dan fashahahnya maupun ilmu-ilmu Al-Qur'an dan tafsirnya.
            Buku ini akan mempersembahkan Profil dan sekelumit dari pemikiran Syekh Azra'I Abdurrauf dibidang Al-Qur'an. Dan buku initerdiri dari enam bab dan setiab bab terdiri dari beberapa sub bahagian.
            Terakhir penulis ucapkan terimakasih yang mendalam kepada semua pihak yang terkait dalam kesempurnaan dan penerbitan buku ini. Kritikan sehat dan saran dari para pembaca sangat diaharapkan demi terialisasinya sebuah kesempurnaan. Dan semoga buku ini menjadi amal jariah bagi penulis. Amiiin.
                                                            Dr. H. Ahmad Zuhri, MA
                                                            Email::zuhriii@yahoo.com


ABSTRAKSI
Buku ini berjudul: Syekh Azra’i Abdurrauf Sayikh Al-Qurra’ (sebuah Penelusuran Biografi dan Peranannya dalam Mengembangkan ilmu Al-Qura’an ).
Syekh Azra`i Abdurra`uf dilahirkan 1918 M. di Medan, Sumatera Utara. Ayahnya, Syekh Abdurra`uf adalah salah seorang ulama terkenal di Sumatera Utara, kususnya di kota Medan. Beliau disebut-sebut mewarisi ilmu dan kitab-kitab Syekh Hasan Ma`sum serta hak cetak terhadap kitab-kitab beliau.
Syekh Azra`i Abdurra`uf berangkat ke Saudi Arabia pada tahun 1935 M. dan kembali ke tanah Air pada tahun 1950. Setelah tiba di tanah air, ia dinikahkan dengan Hajjah Masmelan Nasution. Dan dikarunia satu orang anak yang bernama Nazlah.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa sebenarnya Syekh Abdurrauf, kontribusinya dan pemikirannya di diseputar ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Buku ini merupakan pengkajian tentang profil seseorang yang dikonsepsikan sebagai tokoh. Berdasarkan hal ini, di dalam pelaksanaannya penelitian ini dengan melihat kepada sifat permasalahannya menggunakan metode deskriptif. Yaitu berupaya menemukan pengetahuan tentang seluas-luasnya mengenai profil Syekh Azra’i Abdurra`uf. Setelah itu, dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat
Syekh Azra’i Abdurrauf diyakini sebagai ulama kharismatik, ahli ilmu Al-Qur’an, khususnya qiraat dan lainnya. Ia banyak berjasa pada masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Ia juga sebagai anggota Dewan Hakim MTQ panda iven-iven internasional. Namun demikian, namanya dan keilmuannya sudah mulai hilang dan dilupakan bersamaan dengan kewafatannya. Seyogianya figur ulama kharismatik ini dikenal luas oleh ummat, sehingga ilmunya dapat bermanfaat bagi ummat serta dapat dijadikan contoh dan suri teladan bagi umat.

Di antara kegiatan pengabdian ilmiah Syekh Azra`i Abdurra`uf yang terpenting adalah mengadakan halaqah setiap hari. Ia mengajar di berbagai maktab dan Universitas, di LPTQ dan Penatar tingkat Nasional, serta dewan juri Nasional dan internasional. Ia juga penulis produktif yang dibuktikan dari beberapa hasil tulisannya. Ia juga memiliki kepaduan ilmu Al-Qur’an. Syakh Azra`i merupakan orang non Arab pertama yang mengisi `iza`ah Al-Qur’an. Ia juga pernah memenangkan musabaqah tilawah al-Quran, mendapat penghargaan dari Lembaga Al-Qur’an Pusat. Pada tahun 1953, ia juga diangkat menjadi Guru Besar Hafiz Al-Qur’an pada perguruantinggi Tanjung Limau Simabur Padang Panjang. Beliau juga pernah mendirikan Jam`iyah al-Qurra` untuk mengkaji dan menyebarkan ilmu-ilmu Al-Qur’an.











DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                       iv
DAFTAR ISI                                                                                      v
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                  01
B.     Rumusan Masalah                                                             03
C.     Tujuan                                                                               04
D.    Kegunaan                                                                          04
E.     Metodologi Penulisan                                                       05
                                                     
BAB II: RIYAWAT HIDUP SYEKH AZRA’I ABDURRAUF    07
A.    Lingkingan Keluarga                                                        07
B.     Kehidupan di Timur Tengah                                             12
C.     Kembali ke Tanah air                                                        14
     
BAB III : RIYAWAT PENDIDIKAN SYEKH AZRA’I ABDURRAUF
A.    Pendidikan awal di timur Tengah                                     17
B.     Pendidikan di timur Tengah                                             19
C.     Guru dan muridnya                                                           21
D.    Karya-karyanya                                                                 25
                                                     
BAB IV: KIPRAH  DAN APRESIASI TERHADAP SYEKH

AZRA’I ABDURRAUF                                                                               

A.    Guru Al-qur’an di berbagai tempat                                   26
B.     Juri Al-Qur’an di tingkat Nasional dan Internasional       28
C.     Menulis Makalah dan Buku                                              29
D.    Prestasi dan Apresiasi                                                       30


BAB V: KEILMUAN DAN PEMIKIRAN  SYEKH

AZRA’I ABDURRAUF DI SEPUTAR ALQUR`AN                     34

A.    Pemikiran diseputar karya-karyanya                                 34
B.     Pemikran didalam karya-karya Syekh Azra’i                   54
C.     Pemikiran didalam karya Syekh Azra’i dalam tafsir        66

BAB VI: PENUTUP                                                                          87
DAFTAR BACAAN                                                                         89
LAMPIRAN                                                                                                                                                              

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Syekh H. Azra’i Abdurrauf adalah seorang ulama kharismatik Sumatera Utara. Beliau adalah seorang Hafal al-Qur’an. Tidak hanya sekedar hafal al-Qur’an semata, melainkan juga menguasai ilmu bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an. Beliau belajar dan kemudian juga mengajar, khususnya mengenai ilmu al-Qur’an di Makkah Al-Mukarramah. Atas dasar itu beliau dihormati dan dikenal sebagai ulama yang ahli al-Qur’an. 
Keahlian atau penguasaannya terhadap ilmu al-Qur’an tersebut tercermin dari beberapa alasan. Pertama  ketika beliau membaca al-Qur’an, mimik atau raut wajahnya dan gerakan anggota badannya turut berekspresi mengikuti makna bacaan al-Qur’an yang dibacanya yang hal itu tentu sebagai efek dari pemahaman dan penghayatannya yang sangat mendalam terhadap al-Qur’an itu sendiri. Kedua, beliau adalah ahli di bidang ilmu tafsir (seorang mufassir), di mana beliau juga mengajarkan al-Qur’an dengan metode kajian tafsir. Hal ini dibuktikan dengan lembaran-lembaran makalah yang ditulis tangannya.[1] Ketiga, beliau juga seorang ulama yang ahli di bidang ilmu tajwid (fashahah) al-Qur’an. Sama seperti keahliannya di bidang tafsir, dalam bidang ilmu tajwid ini juga beliau telah menulis lembaran-lembaran maqalahnya yang ditulis dengan tangannya sendiri, kemudian dibagikan kepada murid-muridnya dan disimpan oleh para muridnya. Keempat, untuk wilayah Sumatera Utara beliau disebut satu-satunya ulama yang ahli qiraat sab’ah. Bahkan bisa jadi terhitung langka untuk tingkat Nasional. Karena, pada masanya beliau dijadikan rujukan pada bidang ini ditingkat Nasional.
Keadaan atau kedudukannya sebagai ulama yang ahli ilmu fasahah dan ilmu qiraat sab’ah seperti disebut di atas, diperkuat dengan keberadaannya sebagai Dewan Hakim (dewan juri) MTQ pada even-even internasioanal seperti di Makkah al-Mukarramah dan negara jiran tetangga Malaysia. Kelima, beliau juga adalah ulama yang ahli di bidang seni al-Qur’an serta menyenangi kesenian, baik seni yang berupa syair-syair atau lagu (terutama berbahasa Arab) yang muatannya bernuansa pesan keagamaan. Hal ini sebenarnya merupakan isyarat yang bisa ditangkap bahwa pada dirinya termaktub kelembutan hati. Khusus dalam bidang ilmu tajwid (fashahah), murid-murid beliau yang belajar ilmu tajwid al-Quran kepadanya telah berhasil menjurai berbagai MTQ, baik Nasional maupun internasional.[2] 
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa beliau merupakan seorang tokoh ulama yang kharismatik, khususnya di bidang ilmu tajwid dan qiraat al-Qur’an. Beliau adalah ulama yang memiliki peran dalam hal upaya melahirkan ulama dan ilmuan Al-Qur’an untuk generasi sesudahnya. Namun ketokohan dan peranannya tersebut tak terlihat di dalam catatan sejarah dan cenderung akan menghilang seiring dengan wafatnya. Jika tidak ada yang mengungkap dan mengkaji kembalin peranan ulama ini dalam bentuk tulisan, maka dikhawatirkan sejarah dan peranan seorang ulama sekaliber Syekh Azra’i Abdurrauf akan hilang tanpa bekas.
 Jika jerih payah beliau tersebut diabaikan berarti kaum muslimin generasi berikutnya tidak lagi mengenal ketokohan beliau. Jika hal itu terjadi maka ini memberikan cerminan bahwa ummat Islam (khususnya di Sumatera Utara) kurang peduli dan tidak memperdulikan ulama atau ilmuannya yang berjasa di tanah mereka.
 Atas dasar itu, penulis menganggap penting bahkan sangat penting mengkaji, mengangkat, dan menulis profil Syekh Azra’i Abdurrauf lewat penelitian.

B.  Rumusan Masalah

Dari deskripsi di atas dapat diketahui bahwa masalahnya adalah Syekh Azra’i Abdurrauf diyakini sebagai ulama kharismatik, ahli ilmu al-Qur`an, khususnya qiraat dan lainnya. Ia banyak berjasa pada masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Ia juga sebagai anggota Dewan Hakim MTQ panda iven-iven internasional. Namun demikian, namanya dan keilmuannya sudah mulai hilang dan dilupakan bersamaan dengan kewafatannya. Seyogianya figur ulama kharismatik ini dikenal luas oleh ummat, sehingga ilmunya dapat bermanfaat bagi ummat serta dapat dijadikan contoh dan suri teladan bagi umat.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dirumuskanlah penelitiannya: “Bagaimana profil Syekh Azra’i Abdurrauf dan pemikirannya di seputar al-Quran. Pertanyaan penelitian ini kemudian bisa ditindak lanjuti dan dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.       Siapakah sebenarnya Syekh Azra`I Abdurra`uf
2.       bagaimana kontribusi dan pemikirannya di seputar ilmu al-Quran di Sumatera Utara?
C.  Tujuan
Penelitian ini dlaksanakan adalah dengan maksud sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui siapakah sebenarnya Syekh Azra`I Abdurra`uf.
2.      untuk mengetahui kontribusi dan pemikirannya di seputar ilmu al-Quran di Sumatera Utara?

D.  Kegunaan

Sebagaimana dikemukakan di awal bahwa Syekh Azra’i Abdurrauf ini adalah sosok seorang tokoh[3] ulama[4] kharismatik. Jika dikaitkan dengan konsep ajaran agama bahwa “ulama itu adalah pewaris nabi”, maka seyogianya beliau ini dikenal luas dan baik oleh umat sehingga ilmunya bisa dimanfaatkan jadi tuntunan. Sikap dan tindakannya, terutama ketekunanya dalam mempelajari ilmu al-Qur`an bisa dijadikan teladan.
Namun kebesaran Syekh Azra`i Abdurra`uf tersebut seakan hilang seiring dengan meninggalnya beliau. Jika ilmu, keulamaan dan kealimannya tidak didokumentasikan maka umat (generasi sesudahnya) tidak bisa mengamalkan konsepsi ajaran agama tersebut di atas.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sangat beralasan bahwa penelitian terhadap profil Syekh Azra’i Abdurra`uf diperlukan dengan seksama. Sehingga, pengetahuan ummat mengenai tokoh ini seperti yang dimaksudkan dalam tujuan penelitian akan terwujud. Akhirnya, atas dasar pengetahuan yang baik dan memadai tentang profil Syekh Azra’i Abdurra`uf maka dapat diharapkan signifikansinya:
1.  Dikenalnya Syekh Azrai Absurra`uf oleh generasi mendatang.
2.   Menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut  secara mendalam tentang profil dan perannya sebagai ulama al-Qur`an.

E.  Metodologi Penulisan

Buku ini merupakan pengkajian tentang profil seseorang yang dikonsepsikan sebagai tokoh. Berdasarkan hal ini, di dalam pelaksanaannya penelitian ini dengan melihat kepada sifat permasalahannya menggunakan metode deskriptif. Yaitu berupaya menemukan pengetahuan tentang seluas-luasnya mengenai profil Syekh Azra’i Abdurra`uf. Setelah itu, dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat.[5]
Berkenaan dengan pengolahan dan analisa datanya, maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data yang terkumpul yang terkait dengan profil Syekh Azra’i Abdurrauf akan diolah dan dianalisa secara kualitatif. Oleh karenanya, proses dan kerja menganalisa data yang terkumpul dalam penelitian  .[6] 
Adapun langkah-langkah atau tahapan-tahapan dari pelaksanaan penelitian ini adalah pertama mencari dan menemukan nara sumber atau informan yang tepat. Dalam hal ini murid-muridnya dan keluarganya menjadi rujukan. Kedua, mengumpul data dari para informan tersebut baik dengan wawancara, maupun dengan mengcopy naskah-naskah yang ada. Ketiga melakukan pengolahan dan analisa data bersamaan dengan proses penghimpunan data dalam rangka mendapatkan suatu temuan sebagai hasil penelitian. Keempat, membuat draft laporan serta menyusun laporan hasil penelitian. Kelima, melakukan seminar terhadap laporan hasil penelitian. Terakhir membuat laporan hasil penelitian.


BAB II
RIYAWAT HIDUP SYEKH AZRA’I ABDURRAUF               

A. Lingkungan Keluarga

1.      Keluarga Ulama dan Pecinta Al-Qur’an
Nama tokoh yang dikaji dalam penelitian ini adalah Syekh Azra`i Abdurra`uf.[7] Dari nama ini dapat diketahui bahwa ayahnya bernama Abdurra`uf bin Abdurrahman.[8] Ibunya bernama Hj. Zubaidah binti Musa Nasution. Kakek dan neneknya berasal dari daerah Rantonatas berdekatan dengan Pagur, sebuah desa di Mandailing Natal. Oleh karena itu, sebenarnya ia memiliki marga sebagaimana layaknya penduduk asal Tapanuli selatan. Menurut informasi dari salah seorang muridnya, al-Hajj Syamsul Anwar Adnan, ia bermarga Nasutioan. Namun, marga ini tidak dipakai di akhir namanya sebagaimana layaknya orang-orang dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Karo, dan Simalungun. Hal ini berawal dari kehidupan beliau di Arab Saudi yang pada umumnya para pelajar yang bermukim disana tidak mencantumkan marga diakhir nama mereka.
Syekh Azra`i Abdurra`uf dilahirkan 1918 M. di Medan, Sumatera Utara. Kelahirannya disambut suka-cita oleh keluarga Syekh Abdurrauf. Suasana sepi di rumah Syekh al-Hajj Abdurrauf berubah menjadi ramai dengan kelahiran calon Syekh al-Qurra` ini. Keceriaan keluarga ini semakin bertambah dengan tangisan dan tawa Syekh Azra`i Abdurra`uf. Maka lemgkaplah kebahagian rumah keluarga Syekh Abdurrauf dengan adanya harta, anak, istri shalihah,  dan ilmu Al-Qur’an.
Ayahnya, Syekh Abdurra`uf adalah salah seorang ulama terkenal di Sumatera Utara, kususnya di kota Medan. Beliau disebut-sebut mewarisi ilmu dan kitab-kitab Syekh Hasan Ma`sum serta hak cetak terhadap kitab-kitab beliau.[9] Oleh sebab itu, beliau juga dijadikan tempat bertanya kaum muslimin di sumatera Utara di seputar hukum Islam dan ilmu Al-Qur’an.
Syekh Azra`i Abdurra`uf bersaudara sebanyak tiga orang, yaitu beliau sendiri sebagai anak yang tertua, Syekh Asmu`i (Asma`i), dan seorang perempuan bernama Rabi`ah. Adiknya, Syekh Asmu`i bermukim di Makkah dan menjadi ahli fiqh di negara ini. Ia menjadi warga Saudi dan menikah dengan seorang wanita Arab berdarah Indonesia dan sudah turun-temurun tinggal di wilayah ini.
Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf memiliki sifat yang mulia, ia memiliki ketegasan dalam menjalankan kebenaran yang diyakininya, mencintai sepenuh hati ilmu-ilmu yang terkait dengan Al-Qur’an, tekun, dan cerdas. Semakin usianya bertambah maka semakin terpancar dari wajahnya pertambahan ketaqwaannya kepada Allah.
Syekh Azra`i Abdurra`uf berangkat ke Saudi Arabia pada tahun 1935 M. bersama dengan al-Haji Adnan Yahya dan H.Ja'far dan istri.. Beliau berangkat ke tanah Suci menumpang kapal laut yang bernama PH. Rontis pada bulan Sya'ban.. Ketika itu turut serta di dalam Kapal tersebut al-Hajj Kontas, yaitu ayah dari al-Hajj Ahmad Hasan. Al-Hajj Ahmad Hasan merupakan seorang ulama yang koleksi buku-bukunya sekarang ini dikuasai oleh Perpustakaan MUI Sumatera Utara, Medan, di jalan Sutomo Ujung. Beliau dikenal dengan ulama yang memilki perpustakaan terlengkap.
Di antara sahabat-sahabat Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf ketika belajar dan menuntut ilmu di Saudi Arabia pada waktu itu adalah:
1.      al-Hajj Muhammad Ya`qub
2.      al-Hajj Adnan Yahya (Orang Tua dari al-Hajj Syamsul Anwar Adnan. al-Hajj Adnan Yahya merupakan salah seorang ulama yang produktif menulis untuk segmen generasi belia Islam.
3.      al-Hajj Bahrum
4.      al-Hajj Muhammad Thayyib Jamangatak
5.      al-Hajj Buya Bahrum Ahmad Nasution
6.      al-Hajj Abdul Malik
7.      Prof. DR. H. Harun Nasution (Pemikir Muslim Modern dan pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta. Ia merupakan motor penggerak modernisasi dan rasionalisasi pemikiran teologi Islam di Indonesia. Ia juga penulis beberapa buku yang menjadi rujukan di IAIN se Indonesia. Di antaranya adalah Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek). Ia juga dapat disebut sebagai Mahaguru IAIN dalam ranah pemikiran.
8.      al-Hajj Abdullah
9.      al-Hajj Muhammad Yusuf
10.  al-Hajj Zakaria
11.  al-Hajj Syarif
12.  al-Hajj Husain Abdul Karim (Ia merupakan ulama yang produktif menulis. Di antara karyanya adalah Qawa`id al-Nahwi, Qawa`id ash-Sharfi, Kifayah al-Mubtadi, dan lainnya).
13.  al-Hajj Mukhtar Ja`uhum
14.  al-Hajj Harmen Pakantan
Teman-teman Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf tersebut, umumnya menjadi ulama dan pemuka masyarakat di daerahnya masing-masing.
2.      Bentukan Keluarga
Haji Abdurra`uf sangat keras dan disiplin mendidik anak-anaknya. Oleh sebab itu maka tidak banyak waktu bagi Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf dan adiknya untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Sifat ini akhirnya menjadikan Syekh Azrai nantinya berwatak serius dan tegas dalam menuntut ilmu dan mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Namun berbeda dengan sifat ibunya yang lembut dan ramah dalam mengasuh putra-putrinya. Hal ini pula yang membuat Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf memiliki sifat kelembutan dalam hal menerima kebenaran.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf adalah keturan ulama dan orang alim. Ditambah pula sahabat dan lingkungan keluarga ayah dan ibunya merupakan  orang-orang terpelajar. Oleh sebab itu maka tidak heran kalau di dalam keluarga ini ditegakkan sendi-sendi ajaran islam. Lingkungan keluarga yang demikian membentuk prilaku Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf menjadi seorang yang shalih sejak masa mudanya. Keshalihan itu merupakan bagian dari jati diri Syekh itu sendiri hingga wafatnya.
Semasa mudanya Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf memiliki hobi bermain bola kaki. Buya Bahrum Ahmad memiliki kenangan tersendiri dengan Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf mengenai hobinya bermain bola. Pernah suatu ketika beliau bermain bola kaki dengan Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf. Bola tersebut hasil pemberian salah seorang tetangga mereka yang menyukai pernainan ini dilakukan anak-anak sebaya mereka. Namun, hal itu diketahui oleh Syekh Abdurrauf, ayah dari Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf, dan beliau pun tidak menyukainya. Hingga mereka harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Kenangan selanjutnya, Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf bermain bola dengan menggunakan sarung, hal ni merupakan kebiasaan yang unik dari beliau. Sebab beliau tidak biasa menggunakan celana pentlon dalam kesempatan apa pun.
Sebelum berangkat ke luar negeri ia juga sudah menguasai lagu-lagu qasidah. Oleh karenanya, ia selalu diundang pada acara hajatan seperti walimah arus sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya ketika ia berada di Timur Tengah. Hal itu didukung pula oleh kemerduan suaranya dan kefasihan lidahnya.
Sifat lainnya yang layak untuk diingat dari Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf adalah kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang terkait dengan Al-Qur’an. Ia menguasai semua lagu-lagu Al-Qur’an yang popular dikumandangkan di tanah Arab, seperti hijaz, bayati, rasy, dan lainnya. Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf tidak menyukai lagu-lagu kreasi baru yang disipkan dari lagu-lagu non Arab. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.
Yang paling menonjol dari belaiau adalah, hampir setiap kesempatan waktunya digunakan untuk memperdalami seluk-beluk ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ia benar-benar mencintai Al-Qur’an. Menurut informasi yang dikumpulkan penulis, inilah salah satu motifasi beliau untuk mengahafal Al-Qur’an, agar Al-Qur’an tersebut tetap eksis di dalam dadanya kemana pun ia pergi, baik itu di waktu hidup maupun ketika ia sudah wafat, dan bahkan ketika ia dikumpulkan di padang mahsyar dan bertemu dengan Tuhan-nya.
Di samping, sifat-sifat yang disebutkan di atas, ia juga merupakan salah seorang ulama yang mencoba menempatkan dirinya secara professional. Ia tidak mau menjawab pertanyaan tentang hukum-hukum Islam secara terperinci dan intens, sebab hal itu bukan disiplin ilmu yang digelutinya sebagaimana keseriusannya menngeluti ilmu-ilmu Al-Qur’an.
C. Kehidupan di Timur Tengah
Di Timur Tengah ia tinggal bersama dengan Syekh Abdullah Almandili, yaitu seorang warga negara Saudi keturunan Indonesia dari suku Mandailing. Beliau memiliki hubungan keluarga dengan Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf abduraruf. Oleh sebab itu, sebagaimana yang dituturkan al-Hajj Buya Bahrum Ahmad, Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak mendapatkan kesulitan ekonomi ketika belajar di Saudi. Seluruh kebutuhan hidupnya ditanggung oleh Syekh Almandaili dan kiriman dari orang tuanya. Berbeda dengan para pelajar lainnya, mereka terpaksa hidup dalam keterbatasan di Tanah Arab ini disebabkan krisis ekonomi dan politik pada perang dunia kedua. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa hijrah dari Makkah ke daerah lainnya untuk mencari nafkah. Di antaranya adalah Buya Bahrum Ahmad sendiri, ia terpaksa hijrah ke Jeddah untuk mencari pekerjaan di tempat itu. Di samping itu ada juga yang harus kembali ke Tanah Air.
Syekh Azra`i Abdurra`uf sangat disenangi oleh penduduk kota Makkah, baik dari penduduk asli Saudi sendiri maupun dari penduduk luar Saudi, seperti dari Siria, Yaman, dan lainnya. Hal itu karena keelokan suaranya dan kefasihannya melafalkan huruf-huruf Al-Qur’an. Bahkan Syekh Ahmad Hijazi juga mengakui kefasihannya dalam melafalkan makhraj-makhraj huruf Al-Qur’an. Ia juga menguasai syair-syair dan bait-bait nyanyian Arab dengan baik. Karena kepandaian itu ia sering diundang dan disuruh untuk membaca Al-Qur’an dan juga melantukan nyanyian-nyanyian keislaman oleh penduduk setempat. Tidak terkecuali juga untuk acara-acara walimah al-urusy (pesta perkawinan) ataupun lainnya. Kerap juga ia melantunkan syair dan nyanyian ketika bulan purnama untuk menikmati indahnya malam.[10] Ketika ia memulai qasidahnya maka suasana pun menjadi hening karena ingin menikmati bait demi bait syair dan nyanyian yang dilantunkannya.
Ia juga disenangi karena kepandainnya bergaul dan ditambah pula dengan keelokan paras wajahnya yang enak dipandang. Ia berkulit putih bersih dan berperawakan sedang. Oleh sebab itu ia digelar lebai putih sementara adiknya Asmui digelar dengan lebai hitam karena kulitnya yang sedikit coklat.  Diinformasikan bahwa ketika Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf melintas di dedepan rumah penduduk, maka sering dijumpai sepasang mata anak-anak wanita yang mengintai langkahnya. Namun karena pertolongan Allah dan ketaqwaannya dia terhindar dari fitnah dan perbuatan fasad yang tidak diridai Allah. Bahkan, ia tidak pernah menikah di tanah suci selama menjalani pendidikannya. Ia menikah dengan istrinya, Masmelan ketika telah kembali ke Tanah Air.
Di Arab Saudi, Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf juga mengikuti kegiatan organisasi pelajar untuk melakukan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan konsolidasi dan kekuatan politik umat Islam yang ada di daerah itu untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun kegiatan herowik ini tidak menjadikan Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf meninggalkan kegiatan ilmiahnya. Bahkan hal itu dijadikannya sebagai bagian dari pengayaan intelektualnya.


D. Kembali ke Tanah Air
Setelah lima belas tahun menimba ilmu di Saudi Arabia dan Mesir, Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf pulang ke tanah air dengan membawa ilmu dan kitab-kitab. Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf kembali ke tanah Air pada tahun 1950.
Setelah tiba di tanah air, ia dinikahkan dengan Hajjah Masmelan Nasution. Hajjah Masmelan nasution merupakan seorang wanita dari suku Mandailing. Dari hasil pernikahan ini ia memiiki anak satu orang yang diberi nama Nazlah.[11]
Ketika pulang ke Tanah Air Syekh Azra`i Abdurra`uf tinggal di Jalan Sei Deli Kampung Silalas Medan. Namun saat ini rumah tersebut sudah dijual ahli warisnya. Oleh sebab itu, data yang terkait dengan kehidupan Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf tidak ditemukan lagi kecuali makamnya.
Kegiatan sehari-hari Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf di tanah air adalah mengajar, menatar, dan memperdalam ilmunya dengan menalaah kitab-kitab. Ia mengajar di Madrasah Diniyah, jalan Sungai Deli, kampung Silalas, bersama al-Hajj Adnan Yahya dan al-Hajj Baha`uddin.
Semasa hidupnya, ia telah menjalani hampir seluruh Indonesia, untuk memberikan penataran dan pengajaran ilmu Al-Qur’an. Ia pernah mengajar di Padang, Palembang, Jambi, Jawa, Maksar, Kalimantan, dan lainnya. Ia juga diundang untuk menjadi dewan hakim nasional dan internasional, seperti Malaysia dan Saudi Arabia. Oleh sebab itu, tokoh ini merupakan permata Sumatera Utara yang terabaikan oleh masyarakatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hajj Syamsul Anwar, begitu luas dan dalam ilmu Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf, namun disayangkan perhatian masyarakat untuk menimba ilmu darinya secara intens tidaklah begitu memadai. Bahkan, tidak satu pun dari muridnya di daerah ini yang menguasai ilmu qira`at dari beliau secara talaqi. Al-Hajj Syamsul Anwar sendiri mengakui bahwa, kendatipun ia dinyatakan telah mewarisi ilmu Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf dalam bidang fashahah, namun ia mengakui bahwa ilmu itu hanya sedikit sekali dibanding dengan kealiman ilmu Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf.
Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf wafat pada tahun 1993 M. dalam usia 75 tahun. Warga kota Medan gempar dengan wafatnya Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf. Ribuan kaum muslimin hadir ke rumah duka untuk menunjukkan rasa belasungkawa yang mendalam terhadapnya. Ia dikebumikan setelah shalat Asar diperkuburan kaum muslimin di dekat kawasan tempat tinggal beliau..






BAB III
RIYAWAT PENDIDIKAN SYEKH AZRA’I ABDURRAUF  

A. Pendidikan Awal Di Tanah Air
1.      Belajar Membaca Al-Qur’an
Syekh Azra`i Abdurra`uf pertama kali belajar Al-Qur’an adalah dari ayahnya, Syekh Abdurra`uf.[12] Dari beliaulah Syekh Azra`i Abdurra`uf mengenal huruf Hijaiyah hingga ia mahir membaca Al-Qur’an. Metode yang diajarkan ayahnya ketika memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah tersebut adalah menggunakan metode al-Baghdadi. Metode ini merupakan metode yang umum dipakai ketika itu untuk mengajarkan membaca huruf Araf di Nusantara, bahkan di dunia Islam.
Selain belajar kepada ayahnya, ia juga belajar kepada beberapa orang guru Al-Qur’an di kota kelahirannya. Di antaranya adalah kepada al-Hajj Muhammad Ali, seolang ulama di Sumatera utara yang mengausai ilmu tajwid dan penyebutan makhraj huruf dengan baik. Sekarang ini, kita masih bisa menemukan makamnya di Paya Geli Sumatera Utara. Dan yang terpenting, sebagaimana yang dikemukakan al-Hajj Syamsul Anwar, Syekh Abdurrauf menyuruh anaknya belajar kemanapun di daerah ini ketika ia mengetahui ada guru Al-Qur’an yang menguasai disiplin ilmu Al-Qur’an tersebut. Oleh sebab itu, maka guru beliau ketika di tanah air sangat banyak. Ada yang mengatakan bahwa sebagian dari kegiatan ayahnya, adalah mencari informasi untuk mencarikan guru bagi anaknya untuk belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu terkait dengannya.
2.      Belajar Tajwid, Tafsir, dan Lagu
Syekh Abdurra`uf tidak saja mengajarkan dan memperkenalkan membaca Al-Qur’an kepada anaknya, Syakih Azra`i, akan tetapi beliau juga mengajarkan makharij al-Huruf dan ilmu tajwid dengan baik. Metode yang digunakan ayahnya dalam ranah ini terbilang keras dan tegas. Hal itu tidak lain agar Syekh Azra`i Abdurra`uf kecil dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Di antaranya dapat dilihat dari beberapa prilaku pembelajaran yang diterapkan kepada Syekh Azrai. Misalnya, beliau diperintahkan menaikkan lidah di depan rumahnya ketika ia tidak tepat melafalkan huruf-huruf Al-Qur’an. Sebab, pada waktu kecilnya, Syekh Azra`i Abdurra`uf kurang fasih menyebutkan harf ra`. Latihan ini sering dipraktekkan Syekh Azra`i Abdurra`uf kecil untuk melatih kefasihan bacaannya. Namun sikap keras ayahnya tersebut telah menghantarkan beliau menjadi anak yang cerdas dan mahir melafalkan huruf-huruf tersebut di usia dini.
Disebabkan kedisiplinan ayahnya mengatur waktu belajar Syekh Azra`i Abdurra`uf, maka hal itu berimplikasi kepada minimnya waktu bermain bagi beliau. Diceritakan bahwa sepanjang usianya ia tidak pandai bersepeda, padahal bermain sepeda adalah bagian dari permainan yang digandrungi anak-anak muda pada zamannya.
Di samping ketegasan dan kedisiplinan ayahnya, ia juga memang seorang anak muda yang tekun menggeluti ilmu Al-Qur’an. Sehingga, kemudian hari ia menjadi ulama yang menguasai bidang keilmuan yang digelutinya. Bahkan kemahirannya, dalam bidang tajwid dan qiraat, tidak memiliki tandingan hingga hari ini di Sumatera Utara, bahkan di Indonesia.
B. Pendidikan di Timur Tengah
1.      Belajar di Makkah al-Mukarramah dan Berkumjung ke Madinah
Syekh Azra`i Abdurra`uf belajar Al-Qur’an di Saudi Arabia dengan Syekh Ahmad Hijazi. Syekh Ahmad Hijazi adalah seorang ulama yang terkenal di dunia Islam pada zamannya. Ia digelar dengan Ra`is al-Qurra`. Ia semakin popular ketika bukunya tersebar dan dipelajari di dunia Islam. Di antaranya adalah al-Qaul as-Sadid fi `Ilm at-Tajwid. Buku ini menjadi pegangan di al-Azhar, Mesir dan menjadi rujukan di dunia Islam dalam ranah ilmu tajwid.
Selain belajar kepada Syekh Ahmad Hijazi beliau juga belajar kepada guru-guru dan ulama yang lain. Hal ini akan dijelaskan di dalam pasal berikutnya, baik di dalam ilmu Al-Qur’an, hadis, maupun fikih.  Di antara kegiatan Syekh Azra`i Abdurra`uf yang terpenting lainnya di tanah suci adalah mengahafal Al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu satu tahun dua bulan untuk mengafal tiga puluh juz Al-Qur’an dengan baik. Ini merupakan waktu yang sangat cepat untuk murid Nusantara (`ajam) yang berada di tanah suci. Metode hafalan yang dilakukannya adalah membaca, menghafal, mentasmi`, dan mengulang bacaannya. Pada maktu malam ia menambah hafalannya dan di waktu siang ia mengulang dan mentasmi`-nya. Umumnya para penghafal Al-Qur’an baru bisa menyelesaikan hafalannya dengan baik memerlukan waktu lebih dari dua tahun. Oleh sebab itu, kecepatan Syekh Azra`i Abdurra`uf menghafal Al-Qur’an menunjukkan bakatnya dan kecerdasannya yang luar biasa dalam bidang ini.
Kecepatan Syekh Azra`i Abdurra`uf di dalam menghafal Al-Qur’an didukung oleh berbagai faktor. Pertama, dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu memotifasi Syaik Azrai untuk tekun belajar dan menuntut ilmu Al-Qur’an sejak di tanah air. Kedua, dukungan dana yang memadai dari orang tuanya dan Syekh Abdullah al-Mandili yang menjadi kafil-nya di Saudi Arabia. Oleh sebab itu, krisis politik dan ekonomi waktu itu tidak banyak mempengaruhi pendidikannya. Ketiga, didukung oleh kecerdasannya dalam menghafal yang sudah diasahnya sejak di tanah air. Keempat, didukung oleh semangatnya yang tinggi di dalam menuntut ilmu dan kecintaan yang luar bisa terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Ia mengakhatamkan hafalan Al-Qur’annya di depan makam Rasulullah saw di Madinah al-Munawwarah. Ia melakukan perjalanan ke Madinah dalam rangkan mencari ilmu dan pengalaman di kota Nabi tersebut. Namun, menurut informasi yang diterima dari dari Syekh Buya Bahrum Ahmad dan al-Ustaz Syamsul Anwar, ia tidak lama berada di kota Madinah tersebut, karena alasan-alasan tertentu.
2.      belajar di Mesir
Syekh Azra`i Abdurra`uf belajar di azhar, mesir selama empat tahun. Ia lebih banyak mengikuti halaqah-halaqah ulama yang ada di daerah ini. Tidak diketahui informasi lebih jauh apakah beliau memasuki Universitar al-Azhar. Namun, umumnya, anak-anak Nusantara yang ke Mesir selalu memasuki Universitas ini, sebagaimana halnya para pendahulunya, seperti Syekh Ismail Abdul Wahhab, seorang Ulama Tanjungbalai Asahan, yang wafat dieksekusi Belanda ketiika pulang ke tanah Air.[13] Di sini jugalah ia berkenalan lebih baik lagi dengan ulama-ualama mazhab Hanafi dan literatur-literatur Hanafi di samping mazhab-mazhab Syafii. Namun karena kecintaannya kepada ilmu-ilmu Al-Qur’an, maka di sinipun ia lebih memfokuskan diri mempelajari disiplin tersebut.
C. Guru-Gurunya
Di antara gurunya di dalam bidang Al-Qur’an adalah ayahnya sendiri, Syekh Abdurra`uf. Sementara itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf belajar belajar kepada beberapa orang guru di tanah air. Di antaranya adalah Syekh Hasan Maksum imam paduka tuan. Syekh Hasan Maksum merupakan seorang ulama yang terkenal di Sumatera Utara yang pada waktu itu disebut dengan Sumatera Timur. Ia  dilahirkan pada tahun 1884 dan wafat pada tahun 1937. Syekh Hasan Maksum merupakan alumni Timur tengah. Ia  belajar ilmu fiqh kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ia juga pernah belajar kepada Ahmad Khayyath dalam ilmu tasawuf.[14]
Dari ayahnyalah ia mempelajari dasar-dasar membaca Al-Qur’an dan ilmu keisalaman lainnya. Ia juga belajar beberapa disiplin ilmu keislaman kepada beberapa ulama yang ada di Timur tengah pada waktu itu.
Di antara guru Syekh Azra`i Abdurra`uf yang terpenting setelah ayahnya di tanah ait adalah Syekh Muhammad Ali. Kepada Syekh inilah ia belajar ilmu tajwid dan fashahah al-Quran, bahkan juga terhadap lagu-lagu Al-Qur’an dan qashidah. Syekh al-Hajj Muhammad Ali merupakan orang yang terpandang dalam ranah ilmu-ilmu Al-Qur’an pada waktu itu di lingkungannya.
Syekh Azra`i Abdurra`uf sempat belajar beberapa disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti Nahwu, Sharf, Ma`ani, dan lainnya kepada beberapa orang guru yang adala di tanah air. Pengetahuan inilah yang mendukung kegiatan belajar Syekh Azra`i Abdurra`uf di Timur Tengah nantinya.
Di Saudi Arabia Syekh Azra`i Abdurra`uf belar ilmu Al-Qur’an kepada Syekh Ahmad Hijazi, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Syekh Ahmad Hijazi merupakan ulama yang terkenal dan menjadi bahan rujukan di makkah dan dunia islam. Syekh Ahmad Hijazi memiliki sanad dalam ilmu Al-Qur’an, baik ilmu tajwid maupun ilmu qiraat sampai kepada jibril as. Oleh sebab itu beliau menjadi rujukan kaum muslimin yang belajar di Makkah al-Mukkaramah. Sanad itu dimiliki oleh Syekh Azrai, sehingga ia mendapat ijazah dalam ilmju tajwid, fashahah, dan qira`at. Oleh sebab itu, ia berhak untuk untuk melanjutkan sanadnya kepada murid-muridnya. Belakangan, setelah di tanah air, Syekh Azra`i Abdurra`uf sangat mengambil perhatian dalam hal ini. Ia selalu mengkritik orang-orang yang membaca Al-Qur’an dengan qira`ah sab`ah hanya dengan membaca dari leteratur tanpa ada sanad dan tanpa talaqi kepada Syekh qira`at. Sebab, ilmu membaca ini tidak bisa hanya dilihat di buku tanpa dipelajari secara langsung dari ahlinya, karena ia terkait dengan makhraj yang harus didengar langsung dari guru.
Selain belajar ilmu-ilmu Al-Qur’an, ia belajar ilmu-ilmu lainnya seperti imu hadis dan fiqh. Disebutkan bahwa ia belajar kepada beberapa orang Syekh di Masjidil Haram dan sekitarnya. Di antaranya adalah kepada Syekh Sayyid Alawi al-Maliki, ayah dari Syekh Muhammad Alawi, dalam mazhab Maliki.[15] Ia juga belajar ilmu fiqh kepada Syekh Hasan al-Yamani dalam mazhab Syafii. Syekh Hasan al-Yamani adalah ayah dari Zaki al-Yamani, yang pernah menjabat mentri perminyakan Arab Saudi dan penulis beberapa buku keislaman yang bermutu. Syekh Azra`i Abdurra`uf juga belajar ilmu hadis kepada beberapa orang ulama di antaranya Syekh Hasan Marsyad dan Syekh Umar Hamdan al-Maghribi. Selain itu ia juga belajar kepada Syekh Muhammad Hamdan al-Kutubi dan Syekh Muhammad Syihabuddin di Masjid al-Haram. Syekh Muhammad Syihabuddin adalah salah seorang ulama Sumatera Utara yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah.
Disebutkan pula Syekh Azra`i Abdurra`uf sangat tekun mengikuti kegiatan belajar di halaqah-halaqah yang ada di Masjid al-Haram, bahkan terkesan sangat serius dibanding dengan teman-temannya yang lainnya. Ia hampir tidak pernah meninggalkan kesempatan-kesempatan untuk mengikuti majlis-majlis ilmu.
Di Saudi ia belajar ilmu-ilmu keislaman secara khusus di sekolah al-Falah. Ini merupakan sebuah sekolah yang jarang dimasuki oleh murid-murid dari Asia Tenggara pada masaya. Di sekolah ini umumnya diisi oleh orang-orang Arab. Kesempatan itu diperoleh oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf karena bantuan dari Syekh Abdullah al-Mandili. Oleh sebab itu, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf lebih mahir dan fasih berbahasa Arab ketimbang teman-teman dari Nusantara. Sebab ia bergaul secara intens dengan anak-anak Arab tersebut. Murid-murid dari Nusantara umumnya belajar di Madrasah Darul Ulum sebagaimana teman beliau Syekh Buya Bahrum Ahmad. Selain itu, murid-murid nusantara juga banyak belajar di Madrasah Saulatiyah.
D. Murid-muridnya
Khusus dalam bidang ilmu tajwid (fashahah), Syekh Azra`i Abdurra`uf memiliki murid yang sangat banyak. Di antara murid-muridnya yang belajar ilmu tajwid Al-Quran kepadanya, lewat bimbingannya, tidak sedikit yang menjadi qurra` terbaik pada tingkat nasional dan internasioanl.[16]
 Di antara muridnya yang konsisten belajar kepadanya adalah:
1. H. Ridwan Yahya
2. H. Hasan Basri Sa'i
3. H. Syamsul Anwar Adnan
4. H. Arifin Lubis
5. H. Syarifuddin Nasution
6. H. Ishaq Lubis
7. A. Karim
8. H. Abdul Wahid
9. H. Fadhlan Zainuddin
10. H. Zainul Arifin Lubis
11. H. Muhammad Rekso
12. H. Fahmi al-Hafizh ( B. Sangkar Sumbar )
13. H. Mirwan Batu Bara
14. H. Ahmad Muhajir
15. H. Rafles ( Sumbar )
16. H. Yusnar Yusuf Rangkuti
17. H. Fuad Hilmi Lubis.

Bisa dikatakan, ketika semasa hidup beliau tidak seorangpun Qor' / Qori'ah yang tidak mendapatkan ilmu Tilawatil Qur'an dari beliau. Baik belajar diktat dan talaqqi secra langsung, ataupun melalui Ceramah dan ketika TC.
E. Karya-Karya
Di antara karya-karya beliau yaitu:
1.      Ralat al-Qur`an, diterbitkan oleh tiga penerbit, yaitu Sinar Kebudayaan Islam Jakarta, Mathba`ah al-Mishriyah Cirebon, dan al-Ma`arif, Bandung. Buku ini merupakan buku yang sangat penting bagi umat Islam Indonesia. Sebab, di dalamnya Syekh Azra`i Abdurra`uf membahas hal-hal yang terkait dengan koreksi atas kesalahan penulisan yang terdapat di dalam al-quran terbitan mathba`ah al-Mishriyah, Cirebon; sumber kebudayaan Islam, Jakarta; dan al-Ma`arif, Bandung.
2.      Pedoman Perhakiman Musabaqah Tilawatil Quran. Tulisan ini dalam bentuk makalah untuk para dewan hakim musabaqah tilawatil quran.
3.      Penulisan al-Qur`an dengan Huruf-Huruf Selain Huruf Arab. Buku merupakan uraian yang mendalam tentang hukum dan ketidakefektifan translitersi huruf Arab ke dalam huruf latin. Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan tentang ketidakbolehan memadakan membaca al-Qur`an dengan huruf tersebut.
4.      Tafsir al-Qur`an: Surah  al-Fatihah, al-Baqarah, dan Yasin. Sebagaimana judulnya, buku ini merupakan tulisan yang
5.      dikhusukan untuk membahasa tafsir al-Quran pada surah-surah yang telah disebutkan. Namun, di dalam tulisan ini juga dibahas mengenail ulum al-Qur`an.
BAB IV
KIPRAH  DAN APRESIASI TERHADAP SYEKH

       AZRA’I ABDURRAUF           


Syekh H. Azra’i Abdurrauf adalah seorang hafiz al-Qur`an, menguasai bahasa Arab, tajwid, lagu, dan qiraat al-Qur`an.[17] Keahlian beliau dalam bidang tersebu telah menempatkannya menjadi ulama yang kharismatik dan memiliki andil yang besar di dalam ilmu-ilmu al-Qur`an di Sumatera Utara, kususnya, dan di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Lebih spesifik, pembahasan tentang kiprah, karya, dan pemikiran beliau di seputar hal tersebut di atas dapt dilihat di dalam uraian berikut ini.
A. Guru al-Qur`an di Berbagai Tempat
3.      Mengajar di Rumah
Di antara kegiatan pengabdian ilmiah Syekh Azra`i Abdurra`uf yang terpenting adalah mengadakan halaqah setiap hari di rumahnya. Ia dikenal sebagai seorang guru yang ikhlas, tegas, dan konsisten dalam pengajaran. Bahkan, ia sering menghadiri majlis pengajiannya tepat pada waktunya kendatipun cuaca diterpa hujan deras. Ia tidak memberikan dispensasi kepada murid-muridnya untuk tidak hadir dalam halaqah yang diasuhnya tanpa alasan yang sangat penting dan mendsak. Dalam kaitan ini, al-Hajj Syamsul Anwar, salah seorang muridnya mengatakan, Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak segan-segan menegur keras muridnya yang mengabaikan pelajarannya. Oleh sebab itu, maka murid-murid yang bermulazamah kepadanya tidak berani untuk tidak hadir pada halaqahnya tanpa meminta izin dari beliau. Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak lain adalah untuk keberhasilan murid-muridnya dalam melakukan transmisi ilmu dari dirinya. Di samping, hal ini juga lahir dari kecintaannya kepada al-Qur`an dan penghormatan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu al-Qur`an tersebut. Menurutnya, seyogianya murid lebih mengutamakan ilmu ini daripada hal-hal yang lain yang tidak penting, apalagi jika hal tersebut hanya terkait dengan urusan duniawi semata.
4.      Mengajar di Halaqah Kaum Ibu
Ia juga menyisihkan waktunya khusus untuk kaum ibu di berbagai tempat. Di antaranya adalah di rumah Hj. Rohani, istri dari Letkol H.O.Z. Ownie. Kemudian, ia juga mengajar di rumah Hasyim, MT. Ia mengajarkan kepada kaum ibu di seputar ilmu Al-Qur`an, khususnya tentang bidang penafsiran Al-Qur`an. Ia sangat disenangi oleh jamaah kaum ibu tersebut karena kepandaiannya menyampaikan pesan-pesan Al-Qur`an kepada mereka dengan bahasa yang santun, lembut, dan menyentuh, serta ditambah lagi dengan bacaan Al-Qur`annya yang merdu. Namun demikian, hal itu tidak menghilangkan sifat-sifat ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran dan pandangannya.

5.      Mengajar di Maktab dan Universitas
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengajar di Maktab Zaini Usman di Jalan Waringin Jati dan di beberapa mesjid di Kota Medan. Setelah kembali ke tanah air ia pernah mengajar di UISU, Medan. Namun ia tidak lama mengajar di Perguruan tinggi tersebut karena apresiasi atas ilmu al-Quran yang diajarkan tidak seperti yang diharapkan oleh belaiu. Oleh sebab itu beliau hanya mengajar pada murid yang serius terhadap ilmu yang diajarkannya.
Selain mengajar di Universitas tersebut, ia juga mengajar di Madrasah Diniyah Kampung Silalas bersama dengan Syekh al-Hajj Adnan Yahya, salah seorang temannya di Saudi Arabia.
6.      Mengajar di LPTQ dan Penatar tingkat Nasional
Tidak diragukan lagi bahwa Syekh Azra`i Abdurra`uf memiliki andil yang sangat besar memasyarakan al-Qur`an dalam bidang membaca dan tajwid al-Quran, di kota Medan. Tidak terkecuali juga di Tanah Air dan kawasan Asia Tenggara.
Beliau juga dikenal sebagai penatar Senior Dewan Hakim (juri) musabaqah Tilawah al-Quran di Pangkalan Masyhur, Medan, Jakarta, dan dibeberapa tempat lainnya di Nusantara.
B. Juri Al-Qur`an di Tingkat Nasional dan Internasional
3.      Juri di Tingkat Nasional
Keadaan atau kedudukannya sebagai ulama dalam ilmu fasahah dan ilmu qiraat sab’ah sebagaimana yang disebut sebelumnya mendapat pengakuan secara nasional. Hal itu terbukti, beliau dipercaya semasa hidupnya sebagai dewan juri hampir sepanjang usianya setelah kembali ke Nusantara.
4.      Juri di Tingkat Internasional
Selain menjadi dewan juri secara nasional ia juga dipercaya sebagai dewan hakim  MTQ pada even-even internasioanal seperti di Makkah al-Mukarramah dan negara jiran Malaysia. Ini suatu bukti bahwa keilmuan Syekh Azra`i Abdurra`uf mendapat pengakuan internasional.
C. Menulis Makalah dan Buku
1.      Menulis makalah
Di samping kegiatan dakwah dan mengajarkan al-Qur`an kepada masyarakat. Ia juga menyempatkan dirinya menulis makalah yang terkait dengan ilmu al-Qur`an, yaitu muali ilmu tajwid, fashahah, maupun tafsir. Oleh sebab itu, keilmuan Syekh Azrai tidak saja terkandung di dalam ingatan dan hatinya, tetapi juga ia mampu menunagkannya di dalam bentuk tulisan yang berbobot.[18]
2.      Tafsir
Sebagaimana yang telah dijelaskan ia juga menulis sebuah buku tafsir[19] yang sangat baik dan informatif. [20] Bahkan di dalam buku tersebut memuat tentang ulum al-Quran yang sangat baik untuk dijadikan pedoman dalam mepelajari kajian tafsir. [21]
3.      Koreksi
Di antara kelebihan Syekh Azra`i, ia mampu meresfon kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang terkait dengan al-Qur`an. Sebuah bukunya membicarakan seputar kesalahan beberapa penerbit dalam menuliskan mushaf al-Qur`an. [22]
D. Prestasi dan Apresiasi
1.      Memiliki Kepaduan Ilmu Al-Qur`an
Keahliannya terhadap ilmu Al-Qur`an tidak saja pada kemahiran membaca dan kebagusan tajwid, tetapi juga dalam pemahaman makna dan kontekstualisasinya. Hal itu tercermin dari bebeapa bukti. Pertama ketika beliau membaca al-Qur`an, mimik, raut wajahnya, dan gerakan anggota badannya turut terekspresi mengikuti kandungan dan makna al-Qur`an yang dibacanya. Kenyatan ini tentu reaksi kepahaman yang mendalam atas penghayatan terhadap al-Qur`an dengan baik. Kedua, beliau adalah ahli di bidang ilmu tafsir (seorang mufassir), dimana beliau juga mengajarkan al-Qur`an dengan metode kajian tafsir. Hal ini dibuktikan dengan lembaran-lembaran makalah yang ditulisnya di seputar hal ini sebagaimana yang akan disbutkan di dalam karya-karyanya. Karya-karya tersebut diberikan para muridnya.[23] Ketiga; bahwa beliau juga seorang ulama yang mendapat apresiasi sebagai ulama yang ahli di bidang fashahah Al-Qur`an. Dalam bidang ilmu ini ia juga telah menulis lembaran-lembaran maqolahnya yang ditulis dengan  tangannya sendiri, kemudian dibagikan kepada murid-muridnya.[24] Keempat, ia merupakan seorang ulama yang ahli di bidang qiraat sab’ah. Dikatakan pula bahwa beliaulah satu-satunya yang ahli di bidang ini pada masanya. Bahkan, terhitung sebagai orang yang terdepan untuk tingkat nasional, karena dimasanya beliau dijadikan rujukan pada bidang ini ditingkat nasional.
2.      Pengisi `Iza`ah al-Qur`an di Saudi
Syakh Azra`i merupakan orang non Arab pertama yang mengisi `iza`ah al-Qur`an. Beliau diberi kesempatan untuk mengisi acara radio membacakan ayat-ayat al-Qur`an. Bahkan, menurut informasi dari Syekh al-Hajj Buya Bahrum Ahmad, Syekh Azra`i bukan saja orang pertama dari masyarakat ajam yang membaca al-Quran pada ketika itu tetapi orang perdana yang mealkukannya pada radio Saudi Arabia.
Sewaktu mudanya, Syekh Azra`i Abdurra`uf pernah memenangkan musabaqah tilawah al-Quran di kota Binjai. Waktu kota ini termasuk bagian dari Sumatera Timur. Ini menunjukkan kecerdasan, kemahiran, dan keelokan suara Syekh Azra`i Abdurra`uf.
3.      Mendapat Penghargaan
Jasa besar yaikh Azrai di bidang al-Qur`an mendapat penghargaan dari Lembaga al-Qur`an Pusat. Pada tahun 1953, ia juga diangkat menjadi Guru Besar Hafiz al-Qur`an pada perguruan Tinggi Tanjung Limau Simabur Padang Panjang. Namun, penghargaan itu tidak ditemukan dari lembaga keagamaan atau pemerintah di Sumatera Utara. Ini merupakan sebuah ironi, padahal belaiu paling banyak berkiprah di daerah ini.
4.      Beliau juga pernah mendirikan Jam`iyah al-Qurra`
Jam`iyah al-Qurra` adalah sebuah lembaga untuk mengkaji dan menyebarkan ilmu-ilmu al-Qur`an. Perkumpulan ini diasaskan kepada ajarn Islam. Tujuannya adalah untuk memelihara Al-Qur`an dengan arti yang luas. Upaya yang dilakukan lembaga ini adalah:
  1. untuk mengadakan kontak dan hubungan yang luas dengan organisasi-organisasi dan perkumpulan Qurra` dan huffaz di seluruh Indonesia.
  2. menjaga nilai-nilai Al-Qur`an dengan cara:
    1. mengawsi agar Al-Qur`an jangan sampai bertukar dari aslinya
    2. mengawasi pembacaan Aquran yang bersifat umum.
  3. menanamkan rasa cinta terhadap pembacaan al-Qur`an dengan mengadakan haflah-haflah pembacaan al-Qur`an
  4. mempertinggi mutu pembacaan al-Qur`an dengan cara:
    1. mengadakan majlis huffaz
    2. bersedia menyalurkan cara pembacaan yang dikehendaki al-Qur`an
Organisasi ini beranggotakan kaum muslimin dan muslimat yang terdiri dari anggota teras, anggota biasa, dan anggota dermawan.
Sebagaimana yang tertera di dalam anggaran dasar organisasi ini bahwa pengurusnya paling minimal 9 orang yang dipilih dan diberhentikan oleh rapat umum anggota. Dalam pada itu, rapat anggota diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun. Adapun hak dan kekuasaan angota, antara lain:
1.      tiap-tiap anggota mempunyai hak satu suara.
2.      kekuasaan tertinggi dipegang oleh rapat umum anggota
3.      sesuatu yang harus dianbil dalam waktu singkat baik d luar mapun di dalam perkumpulan, dapat dilakukan oleh pengurus dan dipertanggunjawabkan dalam rapat umum anggota.
Disebutkan juga bahwa keuangan organisasi ini berdasarkan uang pangkal anggota, iuran bulanan yang diambil dari anggota, dan dari dermawan berdasarkan uang hasil yang halal dalam perspektif syara`.
            Dalam anggaran dasar disebutkan bahwa perubahan anggaran dasar dan pembubaran perkumpulan ini hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari sekurang-kurangnya dua pertiga anggota atau didalam rapat umum anggota. Disebutkan juga bahwa bila perkumpulan ini dibubarkan maka harta bendanya diserahkan pada badan amal yang berorientasi akhirat. Pada saat ini tidak diketahui lagi keberadaan organisasi ini.
Belakangan organisasi dikembangkan menjadi Jam`iyah al-Qurra` wa al-Huffaz. Namun, tidak ditemukan data kapan lembaga ini berhenti. Sebab, sekarang gangnya tidak terdengar lagi di Sumatera Utara.


 










BAB V
KEILMUAN DAN PEMIKIRAN  SYEKH

  AZRA’I ABDURRAUF DI SEPUTAR ALQUR`AN   


A. Pemikiran di dalam Karya-karya Syekh Azra`i  
    Abdurra`uf Non Tafsir
Di antara pemikiran yang terpenting Syekh Azra`i Abdurra`uf adalah mengenai ilmu-ilmu al-Qur`an. Di dalam pembahasan ini, penulis akan menguraikannya dengan cara meneliti dan mengungkap kajian-kajian yang dilakukannya di dalam kitab-kitab dan makalah yang beliau tulis yang berkaitan dengan tajwid, fashahah, tashhih, dan lagu.
  1. Pedoman Perhakiman Musabaqah Tilawatil Quran
Tulisaini ini berbentuk makalah yang ditulis dengan akasara arab-jawi. Makalah ini dibagi ke dalam enam sub bahasan. Di antaranya adalah pendahuluan tanpa judul; masalah-masalah tajwid; al-waqf wa al-ibtida`; masalah lagu dalam perhakiman musabaqah; cara-cara penilaian lagu; dan pedoman-pedoman yang menurunkan nilai-nilai peserta.
Di dalalam pendahuluan Syekh Azra`i Abdurra`uf memulainya dengan puji-pujian kepada Allah dan shalawat kepada rasulullah saw. Hal ini merupakan kebiasaan penulisan yang dilakukan para ulama di dalam muqaddimah kitabnya. Di dalam bagian ini Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan bahwa tulisan ini akan membahas beberapa pokok dan inti yang tidak bisa diabaikan oleh seorang hakim ketika melakukan penilaian di dalam musabaqah tilawatil quran.[25]
Tulisan ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui bagi para hakim. Sebab, pada awalnya tidak ditemukan kata sepakat yang dilakukan oleh para hakim tentang asfek-asfek penilaian. Ini merupakan sebuah karya orisinal yang ditemukan di dalam karya-karya yang terkait dengan pedoman perhakiman di ranah musabaqah. Urainnya diumulai dengan pendeskripsian tentang tujuan ilmu tajwid. Menurut beliau bahwa tujuan tajwid adalah berkenaan dengan tilawah al-Qur`an yang fasih menurut fasahah arabiyah yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Terun-temurun kepada segala umatnya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa fasahah arabiyah dapat digariskan sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi:
ولا شك أن الأمة كما هم متعبدون بفهم معانى القرأن وإقامة حدوده كدلك هم متعبدون بصحيح ألفاظه وإقامة حروفه على الصفة الملتقاه من ائمة القراءة المتصلة بالحضرة النبويه الأوضحية التى لا تجوز مخالفتها[26]
Syekh Azra`i Abdurra`uf  mengeaskan bahwa tidak ada hubungan fashahah arabiyah di dalam tilawah al-Qur`an dengan lahjah-lahjah di antara bangsa arab yang ada sekarang, seperti lajah Arab Nejed, Iraq, Kuwait, dan sebagainya. Semuanya harus tunduk kepada ketentuan yang sudah ditetapkan atau diriwayatkan para ulama.
Pada pembahasan kedua Syekh Azra`i mengaku persoalan tajwid sangat banyak problematikannya, namun di dalam makalah ini belaiu hanya mengemukakan beberap hal yang penting yang terkait dengan makharij al-huruf dan sifat-sifatnya, masalah mad, waqaf dan ibtida`. Ini semua dilakukan oleh beliau sebagai pedoman pokok di dalam penilaian musabaqah tilawatil quran.[27] Beliau juga membahas di dalam fasal ini tentang urgensitas makharij al-huruf, baik itu pada huruf hijaiyah ashliyah yang dua puluh sembilan maupun pada huruf hijaiyah far`iyah. Misalnya hal-hal yang terkait dengan nun sakinah seperti ikhfa`, iqlab, idgham, dan izhhar.
Pada pembahsan berikutnya, Syekh Azra`i Abdurra`uf membahas tentang waqaf dan ibtida`. Dalam kaitan ini beliau memperingatkan para dewan hakim agar jangan menyepelekan persoalan ini. Sebab, masalah waqaf juga bagian dari ilmu tajwid, bukan bagian dari gerak-gerik badan (adab). Ia menegemukakan sebuah atasar dari sahabat Ali ra. Ketika beliau ditanya tentang makna tajwid, beliau menjawab:
تجويد الحروف و معرفة الوقوف
Syekh menjelaskan pula bahwa masalah waqaf terkait dengan masalah ilmu tafsir. Oleh karenanya, seseorang tidak bisa dengan baik mengetahui seluk-beluk waqaf kalau ia tidak mengetahui tafsir. Kendatipun tanda-tanda waqaf itu ditemukan pada beberapa cetakan Al-Qur`an yang diterbitkan, namun hal itu terkadang tidak dapat membantu ketika seseorang sedang kehabisan nafas. Oleh sebab itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf menasehatkan bahwa yang dapat menjadi hakim bagian waqaf ini adalah orang yang khusus yang menguasai ilmu tafsir. Begitu sulitnya masalah ini sehingga beliau mengatakan bahwa ia belum bisa membuat metode yang bisa dijadikan pedoman oleh para dewan hakim.
Pembahasan berikutnya adalah terkait dengan masalah lagu di dalam musabaqatilawatil quran. Syekh Azra`i Abdurra`uf menggarisbawahi bahwa persoalan lagu bukanlah persolan yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan hal lainnya. Beliau mengatakan bahwa para hakim harus menyadari bahwa kedudukan lagu dalam membaca Al-Qur`an tidak boleh terlepas dari pertanggungjawabannya terhadap hak tilawah Al-Qur`an menurut yang diridai oleh Allah swt. Sebab al-Qur`an adalah kalamullah yang Mahasa Suci. Dalam kaitan ini ia mengutip hadis nabi saw. Yangh berbunyi:
زينوا القرأن بأصواتكم
Menurut beliau makna dari hadis ini adalah agar al-Qur`an itu dihiasi dengan suara yang indah dan bukan dengan dirusak-rusak bacaannya dengan suara yang indah. Justru menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf, keindahan lagu itu tergantung kepada kefasihan bacaan menurut hukum-hukum tajwid. Dengan kata lain, lagu haruslah tunduk kepada hukum tajwid.
Dalam pada itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf juga memperingatkan bahwa janganlah ada yang mepermasalahkan lagu dengan cara lama dan lagu dengan kreasi baru. Cara-cara kreasi itu belum tentu bermutu dan baik. Lagu dengan cara lama tersebut juga masih relefan untuk dipakai dan cukup indah dan tidak akan usang sampai pada masa yang akan datang.
Dalam pasal selanjutnya Syekh membahas tentang cara-cara penilaian lagu. Ada beberapa pedoman yang ditulis beliau dalam hal ini.
  1. ketinggian mutu keindahan lagu itu sesuai dengan hukum-hukum tajwid.
  2. ketika membawkan lagu-lagu al-Qur`an haruslah merupakan ‘arbiyah al-Qur`an”. Maksudnya, terpelihara dari bentuk-bentuk lagu yang disuarakan itu dari irama ajam (non Arab) yang membuat kelitu “Arabiyatul quran” sesuai dengan tunjukan ayat yang terdapat pada surah az-Zumar:
قرأنا عربيا غير ذي عوج لعلهم يتقون
  1. ketika membawakan lagu dalam keadaan dada yang tenang tidak berdebar-debar diserta nafas yang kuat.
  2. dapat merupakan keindahan lagu pada tiap-tiap mahath dengan tidak menyalahi hukum waqaf agar keindahannya tidak sia-sia dalam satu pernafasan.
  3. kemurnian daya suara dengan maksud tidak menurun dan tidak serak, hingga mengakhiri bacaan.
  4. dapat memperhitungkan keseimbangan suara dalam pemindahan lagu atau pelanjutan bacaan sesudahnya.
Setelah menjelaskan permasalahan yang tekait dengan selebuk-beluk penilaian lagu, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan pula pedoman tentang hal-hal yang menurunkan nilai peserta musabaqah tilawah quran. Di nataranya adalah:
  1. tidak sejalan keindahan lagu dengan hukum-hukum keindahan tajwid yang sah.
  2. lagu-lagu yang dipakai menghilangkan khabariyah al-Qur`an
  3. membawakan lagu yang rusak, baik disebabkan dada yang berdebar-debar; atau tidak berdayanya lagi nafas yang menjelang habisnya atau dengan sebab apapun juga.
  4. kerusakan lagu di mahath ketika berwaqaf, padahal puncak keindahan itu adalah pada mahath sekalipun berkurang waktu perjalanan bacaan itu.
  5. suara yang mengalami kelemahan di waktu dalam perjalanan bacaan disebabkan menurunnya daya tahan suara atau disebabkan serak.
  6. tidak adanya keseimbangan kehendak lagu dengan daya tahan suara dengan maksud memaksakan suara ketika membawakan lagu yang tinggi yang tidak tercapai suara ataupun tercapainya dengan susah payah sehingga tidak terasa keindahannya lagi.
  7. Terdapat keseimbangan suara pada waktu pemindahan lagu atau pelanjutan bacaan sesudah berwaqaf.
Berdasarkan deskripsi di atas ditemukan bahwa kaidah-kaidah penilain lagu ini, merupakan salah satu upaya Syekh Azra`i Abdurra`uf untuk memberikan gambaran aplikatif dalam melakukan penilaian terhadap peserta musabaqah. Hal itu terkait dengan tajwid maupun dengan lagu yang disuarakan oleh peserta. Namun inti dari penilaian itu adalah kefasihan seorang dalam membaca Al-Qur`an dengan dasar-dasar ilmu tajwid dan kemerduan suara.
Sesuatu yang menjadi perhatian di dalam pemikiran beliau di seputar ranah ini. Syekh Azra`i Abdurra`uf kurang menyenangi lagu-lagu kreasi baru yang dimasukkan ke dalam lagu-lagu Al-Qur`an. Apatahlagi jika itu lagu-lagu dari masyarakat non Arab. Sebab, baginya Al-Qur`an adalah ‘arabiyyan” sebagaimana yang dipesankan oleh Al-Qur`an itu sendiri. Artinya, baik penulisan, bacaan, maupun lagunya haruslah berdasarkan lisan dan hal-hal yang datang dari Arab.



  1. Ralat al-Qur`an: Jam`iyah al-Qurra`
Buku ini ditulis adalah untuk menunjukkan kekeliruan di dalam penulisan Al-Qur`an yang dilakukan oleh beberapa penerbit. Di antaranya adalah penerbit al-Mathba`ah al-Mishriyah, Cirebon, Sinar Kebudayaan Islam Jakarta, dan al-Ma`arif, Bandung.
Koreksi yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf tersebut merupakan kepedulian beliau terhadap kemurniaan Al-Qur`an. Dalam hal ini kaum muslimin berutang besar kepada beliau atas usahanya memurnikan dan meluruskan penulisan Al-Qur`an di tanah air. Ini juga merupaka tanda-tanda kebesaran Allah dan kebenarannya firman-Nya, yakni Allah yang menurunkan Al-Qur`an dan Allah pulalah yang memeliharanya.
Buku tentang ralat ini dimulai dari sepatah kata dari Jam`iyatul qurra`. Di dalam sepatah kata itu disebutkan bahwa tujuan dari organisasi menyebarkan buku ini adalah untuk memberi edoman yang sebenarnya bagi kaum muslimin yang telah mempunyai al-Qur`an yang salah cetak. Dalam keyakinan Syekh Azra`i Abdurra`uf, kitab-kitab Al-Qur`an dari tiga penerbit itu telah beredar luas di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai tanggungjawab seorang ulama untuk menjauhkan kaum muslimin dari kesesatan dan kekeliruan yang dilakukan penerbit maka beliau menulis dan menyebarkan buku ini kepada masyarakat Indonesia. Untuk upaya ini, beliau juga mengaharpkan bantuan dana dari kaum muslimin agar penyebaran informasi ini dapat terwujud.
Selain mengoreksi tiga cetakan kitab suci al-Qur`an yang diterbitkan oleh tiga pernerbit yang telah disebutkan di atas, Syekh Azra`i Abdurra`uf juga mengomentari tentang kitab suci Al-Qur`an terbitan Bombay, India, cetakan tahun 1939 M. di dalam naskah terbitan itu terdapat beberapa kekeliruan penambahan saktah bacaan Al-Qur`an. Padahal menurut beliau berdasarkan kesepakatan ulama di dalam qiraah yang tujuh, saktah hanya terdapat pada surah al-Kahfi, surah Yasin, surah al-qiyamah, dan surah al-Muthaffifin. Oleh sebab itu, kaum muslimin harus mengetahui kekeliruan itu agar mereka terbebas dari kekeliruan dan kekhilafan percetakan.
  1. Penulisan Al-Qur`an dengan Huruf-Huruf Selain Huruf Arab
Buku ini berawal dari makalah yang ditulis oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf atas permintaan Majlis Ulama Indonesia, Sumatera Utara. Buku ini ditulis pada tahun 1989. Kendatipun buku ini mengambil judul yang sangat luas, yaitu mencakup seluruh huruf atau aksara di dunia ini, namun Syekh hanya mengkhususkannya pada ranah Penulisan Al-Qur`an dengan Huruf-Huruf Latin semata. Oleh sebab itu, maka yang ditemukakan di dalam tulisan ini adalah tentang kajian di seputar huruf latin.
Sebelum masuk kepada pembahasan Syekh Azra`i Abdurra`uf memulai tulisannya dengan mengetengahkan beberapa ayat-ayat Al-Qur`an. Hal itu dilakukan sebuah pengenalan bagaimana Allah me4nyatakan kepada hamba-Nya yang beriman agar memperlakukan kalam-Nya menurut yang layak. Sebab, semua itu terkait dengan kesuciannya, kemu`jizatannya, kearabannya, keindahan susunannya, cara pelafalannya, dan pendabburannya.
Di antara ayat Al-Qur`an yang dijadikan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf ketika mengantar tulisannya adalah surah az-Zumar ayat 23.
Menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf ditinjau dari segi lafalnya, al-Qur`an adalah kalam yang terpisah-pisah di antara segala kalam, ringkas, dan megandun arti yang luas. Jika ditinjau dari segi maknanya, al-Qur`an merupakan sumber yang mencakup peringatan, hukum, ibadah, halal dan haram, kisah-kisah terdahulu, baik jauh jaraknya dari masa turunnya al-Qur`an ataupun jauh. Menurut beliau itu kisah-kisah tersebut tidak dapat dibantah kebenarannya.
Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa peringatan-peringatan, hukum-hukum, ibadah, halal dan haram, terkadang ditemukan berulang di dalam al-Qur`an, namun bagi yang membacanya tidak akan membosankan, karena dalam semua itu mengandung makna dan hikmah yang dalam sebagaimana yang terdapat di dalam tunjukan ayat tersebut di atas.
Di dalam keterangan berikutnya, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengetengahkan bahwa ketika al-Qur`an dibaca dengan bacaan yang benar menurut tajwidnya, maka akan memberikan nuansa yang sangat dalam pada jiwa. Sehingga, ia berani menjelaskan bahwa jika dibacakan ayat-ayat azab atau berita tentang jahannam, maka kulit dan tubuh tentu akan bergetar karena ketakutan, baik bagi yang membacanya ataupun bagi yang mendengarkannya. Sebaliknya, jika sampai kepada ayat-ayat rahmat dan nikmat tentang jannah maka hati menjadi lembut dan jiwa menjadi tenteram.
Kelihatannya apa yang dijelaskan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf tentang kepaduan dan penghayatan makna-makna Al-Qur`an ketika dibaca atau mendengarkan bacaan merupakan ekspresi jiwanya sendiri. Karena itulah setiap kali ia membaca Al-Qur`an seolah-olah ia ikut di dalam nuansa ayat tersebut. Dalam hal ini tidak terkecuali gerak, bahasa tubuh, dan ekspresi wajahnya turut serta di dalam penghayatan itu.
Dalam makalah yang ditulisnya untuk menjelaskan permasalahan transliterasi ayat al-Qur`an ke dalam bahasa latin membagi ke dalam beberapa sub bahasan.
A.    beberapa ayat sebagai pedoman pokok
  1. Surah Yusuf
Yang dimaksudkan dengan “Kami turunkan al-Qur`an berbahasa arab” adalah dengan menggunakan bahasa arab, termasuk di dalam penulisannya.
  1. Surah asy-Syu`ara` ayat 195
  2. Surah al-muzammil ayat
Sementara itu, tartil menurut Ali bin Abi Thalib dalam ayat ini adalah mentajwidkan huruf dan mengenal tempat-tempat waqaf.
B.     Hukun Tajwid
Dalam tulisan ini, Syekh Azra`i Abdurra`uf hanya bmembatasi diri tentang pembahasan fashahah, yaitu yang menyangkut makhraj dan sifat huru. Beliau mengatakan fashahah memiliki perincian pembahasan. Namun melakukan fashahah yang berlebih-lebihan justru merupakan suatau kekeliruan ketika membaca al-Qur`an.
Ketika Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan makna fashahah beliau mengutip ucapan Hamzah, salah seorang imam dari qira`ah sab`ah. Peristiwa itu terjadi ketika Hamzah mendengarkan seseorang membaca al-Qur`an dengan cara pelafalan yang melebihi batas-batas fasih. Beliau mengatakan:
أما علمت أن ما كان فوق الجعودة فهو قطط وما كان فوق البياض فهو برص وما كان فوق القراءة فليس بقراءة

[Apakah engkau tidak tahu bahwa rambut yang melebihi keriting dikatakan rambut berpulun dan yang melebihi putih dikatakan shafak, serta yang melebihi qira`ah tidak lagi dikatakan qira`ah.]
C.     Contoh-Contoh Penulisan Huruf Latin Pada Basmalah
Setelah mengemukakan penjelasan tentang kedudukan fashahah, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf mencoba memberikan contoh terhadap kasus penulisan tersebut. Hal ini sangat menarik untuk disimak, karena Syekh Azra`i Abdurra`uf mampu menguraikan kelemahan dan kekeliruan transliterasi penulisan tersebut dalam sebuah deskripsi contoh. Berikut ini dapat dilihat di dalam kutipan berikut ini:
  1. bismil laahir rahmanir rahim
Jika dituliskan ke dalam huruf arab, maka tulisannya adalah:
بسمل لاهر رهمانر رهيم
Ini cara transliterasi yang digunakan penerbit Naspar Jaya, Medan
  1. bismillaahir rahmaanir rahiem
Jika dituliskan ke dalam huruf arab, maka tulisannya adalah:
بسم للهر رهمانر رهيم
Ini cara transliterasi yang digunakan penerbit Attahir Jatinegara, Jakarta.
  1. bismillahirrahmanirrahiem
Jika dituliskan ke dalam huruf arab, maka tulisannya adalah:
بسمللاهررهمانر رهيم
  1. bismilllahir rahmaanir rahiim
Jika dituliskan ke dalam huruf arab, maka tulisannya adalah:
بسمللاهر رهمانر رهيم
Ini cara transliterasi yang digunakan penerbit al-Hikmah Jakarta.
  1. bismillaahi rrahmanirrahiem
Jika dituliskan ke dalam huruf arab, maka tulisannya adalah:
بسمللاه ررهمانر رهيم
Ini cara transliterasi yang digunakan penerbit Firma Islamiyah Medan.
Dalam kaitan ini, sebenarnya dengan contoh ini Syekh Azra`i Abdurra`uf ingin mengatakan bahwa transliterasi yang dilakukan adalah suatau kekeliruan. Kekeliruan tersebut juga tidak tepat jika dilihat dari perspektif sejarah. Beliau mengatakan bahwa ditinjau dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, tidak pernah melakukan agar al-Qur`an itu ditulis dengan huruf setempat. Padahal ketika itu mereka masih dalam kegelapan. Mereka berusaha untuk belajar membaca Al-Qur`an dengan huruf Arab.
Analisis yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf dari dua sudut pandang di atas, menunjukkan ketajaman pandangan dan kepeduliannya terhadap al-Qur`an. Beliau dapat membuktikan kekeliruan melakukan transliterasi tersebut dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah berdasarkan realitas dari pengalihan aksara tersebut. Kedua, berdasarkan sejarah umat Islam dalam melakukan pembelajaran membaca al-Qur`an.
Memadakan transliterasi untuk membaca al-Qur`an memang tidak pernah akan mendatang manfaat yang sesungguhnya kepada orang yang melakukannya. Pada satu sisi ia dapat mengatasi masalah, yaitu pada sisi dapat mengahasilkan ‘suara bacaan’, namun pada sisi lain ia tidak dapat mengetahui makhraj, sifat-sifat huruf, tajwid, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, maka memadakan membaca al-Qur`an dengan huruf latim, pada hakikatnya ia tidak pernah membaca al-Qur`an. Oleh sebab itu, solusi yang terbaik adalah ia harus menyisakan waktunya untuk belajar membaca al-Qur`an. Jika pada hal-hal yang lain ia mampu untuk menyisakan waktunya, maka mempelajari membaca al-Qur`an ia tidak memiliki waktu dan kemampuan? Jika transliterasi memang dirasa perlu untuk hal-hal lain, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf berpendapat perlunya melakukan penelitian yang lebih mendalam dan pengkajian yang lengkap, agar hal tersebut dapat dilakukan dengan penyelesaian yang terbaik.
Keniscayaan mempelajari dan membaca al-Qur`an dari aksara al-Qur`an dan tajwidnya didasari kerangka pikir bahwa dalam membaca al-Qur`an itu ada hukum wajib dan ada hukum haram. Inilah salah satu menjadi alasan keberatan Syekh Azra`i Abdurra`uf dalam melakukan transliterasi. Beliau mengajukan dalil dari hadis Nabi saw:
رب قارئ للقرأن والقرأن يلعنه
[Banyak pembaca al-Qur`an yang al-Qur`an itu sendiri melaknatnya.]
Berdasarkan hal itu, menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf, para ulama salaf mengatakan bahwa jika hendak mengetahui membaca al-Qur`an dengan bacaan yang benar, hendaklah terlebih dahulu belajar dari orang-orang yang mengetahui bacaan al-Qur`an.
Berdasarkan hal ini, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf mengecam umat Islam yang menganggap enteng persolan ini. Mereka telah menyelisi dan mengenyampingkan ulama salaf. Mereka mengajukan alasan bahwa al-Qur`an itu boleh dibaca dengan tulisan apa saja asalkan bunyi atau suara yang dikeluarkan dari makhraj sesuai dengan makhraj huruf Arab.
Sebelum menutup pasal ini, Syekh Azra`i Abdurra`uf, menegaskan bahwa beliau tetap tidak sependapat dan mentang penulisan al-Qur`an dengan huruf latin. Ketidak sepakatan beliau didukung alasan bahwa huruf latin tersebut tidak tetap. Karena terjadinya perobahan-perobahan dalam adaptasi dengan bahasa Indonesia. Hal itu juga terbukti hingga saat ini. Jika pada masa Syekh Azra`i Abdurra`uf ditemukan terjadinya perobahan ejaan lama kepada ejaan baru dan ejaan yang disempurnakan, maka pada saat ini dilakukan lagi perobahan trnasliterasi aksara arab kepada aksara latin dengan peraturan yang sangat rumit, baik pada penulisan maupun pada simbol-simbolnya. Jika demikian halnya, maka sebaiknya, dan itu lebih mudah, mempelajari membaca aksara arab.
Alasan yang diajukan Syekh Azra`i Abdurra`uf pada bagian akhir pasal ini hanyalah sebagai suatu pembuktian saja yang bersifat temporal. Namun substansi alasannya tetap seperti yang dikemukakannya pada awal pasal ini, yaitu aksara latin tidak bisa merefresentasikan aksara arab, baik pada makhraj maupun pada sifat-sifatnya, dan hal-hal lain yang terkait dengan fashahah dan tajwid.
D.    Mengenal Panjang Pendek dalam Bahasa Indonesia (tekanan suara)
Pasal ini diantar oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf dengan mengetengahkan bahwa masyarakat telah menggunakan bahasa Indonesia sejak dari kecil hingga dewasa. Di dalam pemakian kata dan kalimat pada percakapan sehari-hari ditemukan adanya penekanan kata yang mengakibatkan terjadinya mad (dua harkat) tanpa ada simbol tertentu yang mengaruskan demikian. Khususnya hal itu terjadi pada huruf yang mengiringi huruf ‘u’, ‘i’, dan ‘a’. Misalnya, kata ‘hujan’ dibaca dengan mad pada suku kata ‘hu’, padahal di situ tidak simbol yang mengharuskan ada mad. Demikian juga kata ‘tidak’, ‘makan’, dan lainnya. Percakapan yang demikian akan terbawa-bawa ke dalam bacaan arab dengan huruf latin, misalnya, ketika seseorang yang tidak mengetahui aksara Arab akan membaca كتب       yang dituliskan pada latinnya ‘kutiba’  dengan memanjangkan ‘ku’, ‘ti’, dan ‘ba’ pada lafal tersebut. Padahal di sini, tidak ada mad sama sekali.
Analisis dan penilaian yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf dalam hal ini cukup menukik pada substansi dan realitas bacaan orang yang tidak mengetahui membaca aksara arab. Namun, problema ini sebenarnya dapat teratasi dengan pedoman transliterasi yang dikelurkan oleh Departemen Pendidikan dan Departemen agama dengan menetapkan simbol-simbol tertentu pada suku kata yang memiliki mad di dalam bahasa Arab. Contohnya  غفور   ditransliterasikan dengan memberikan tanda pada hurif ‘u’, mislanya fūjur. Namun demikian, hal itu tetap saja tidak menyelesaikan problema transliterasi sebenarnya. Sebab, berapa panjang dibaca lafal ‘u’ di dalam kalimat tersebut dan lafal lafal ‘jā’ pada kata  جاء    tetap tidak bisa dibedakan. Padahal pada kata فجور     hanya boleh dibaca dua harkat jika ia ditengah kalimat dan boleh dibaca empat harkat pada waqaf. Sementara pada lafal جاء  wajib dibaca ditengah kalimat 4 harkat. Ini tidak dibedakan di dalam transliterasi. Ini hanya segelintir kelemahan dari transliterasi yang ada baik pada transliterasi lama maupun pada translitrasi yang baru.                           

E.     Cara yang Dikarang-karang yang Membawa Perobahan dalam huruf Al-Qur`an dan Membawa Kekacauan sehingga Merobah ataupun Menghilangkan Nakna.
Dalam kaitan ini Syekh Azra`i Abdurra`uf menunjukkan beberapa kelemahan dan kekeliruan dalam hal perobahan dalam huruf pada transliterasi. untuk memudahkan memahami urainnya beliau membuat kategorisasi sebagai berikut:
1.      Penukaran huruf ya` yang mati ( ي )  yang didahului huruf berbaris di atas seperti kata   ريب  . Jika ditulis dengan huruf latin, maka kata ya mati itu ( ي ) ditukar menjadi huruf ‘i’ , maka bentuk tulisannya menjadi raiba.
2.      Penukaran huruf waw  yang mati ( و  )  yang didahului huruf yang berbaris di atas seperti  يوم   .  Jika ditulis dengan huruf latin, maka kata waw mati itu ( و  ) ditukar menjadi huruf ‘u’ , maka bentuk tulisannya menjadi yauma.
3.      Penukaran huruf ya` yang mati ( ي )  yang mengandung makna mutakallim tidak terefresentasi dengan dalam transliterasi lama. Misalnya, kata بيتي   hanya ditulis dengan baiti, maka hilanglah makna mutakkalim dalam kalimat tersebut. Ini merurut Syekh Azra`i Abdurra`uf merupakan kekeliruan yang fatal di dalam bacaan dan transliterasi.
4.      Penukartan huruf ya` yang mati ( ي )  yang didahului huruf berbaris yang menunjukkan makna mutsanna tidak terefresentasikan dalam transliterasi. Misalnya, lafal  شفتين   hanya ditransliterasikan dengan huruf ‘i’ yang sama sekali tidak bisa mewakili makhraj huruf ya` ketika sukun.
5.      Penukaran huruf waw  yang mati ( و  )  yang mengandung makna jamak [mereka] hanya ditransliterasikan dengan huruf ‘u’, maka hal ini tidak dapat merefresentasikan penyebutan waw jamak. Misalnya, pada lafal  وأن تصوموا خير لكم   tidak mampu diakomodir transliterasi, “wa an tashumu”.
6.      Penukaran huruf waw  yang mati ( و  )  yang mengandung makna jamak [mereka] muzakkar salim hanya ditransliterasikan dengan huruf ‘u’, maka hal ini tidak dapat merefresentasikan penyebutan waw jamak. Misalnya, pada lafal مسلمون tidak mampu diakomodir transliterasi, “muslimun”.
Apa yang disebutkan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf di dalam klasifikasi yang dibuatnya di atas merupakan sebuah penegasan bahwa huruf latin tidak mampu mereferresentasikan transliterasi ke dalam huruf arab. Kendatipun belakangan telah diberlakukan transliterasi baru, namun sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, tetap saja tidak mampu merefresentasikan tajwid yang ada di dalam aksara Arab.
F.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Makhraj
Dalam pembahasan berikut ini Syekh Azra`i Abdurra`uf mencoba melakukan analisis yang mendalam tentang makhraj huruf serta memperbandingkannya dengan transliterasi arab ke latin. Dalam kaitan ini beliau mengklasifikasikan pembahsannya ke dalam tiga klasifikasi.
1.      Huruf transliterasi membawa kepada kekacauan dalam pelafalannya dan membawa kepada pertukaran makna. Misalnya penggantian huruf   ث   ditransliterasikan kepada perpaduan dua huruf latin, yaitu t dan s [ts]. Dalam hukum tajwid ditemukan bahwa huruf   ث  berada pada tepi ujung lidah bersentuhan dengan tepi ujung gigi depan sebelah atas. Sementara itu, huruf t [ ت ]  bagian dari transliterasi tersebut berada pada tepi lidah dengan langit-langit yang mendekati pangkal gigi atas sebelah dalam dan huruf s [ س ] makhrajnya dari antara tepi lidah dengan langit-langit yang mendekati pangkal gigi atas sebelah dalam dengan perhatian bahwa yang dimaksud di antara itu adalah tidak sampai bersentuh dengan langit-langit. Contohnya, kata  ثوابا  ditransliterasikan dengan tsawaba, maka bila dikembalikan kepada aksara arab berart ditulis dengan  تسوابا.
2.      Menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf, lebih kacau lagi dalam pelafalannya bila  ث  bertasydid, maka tentu akan bersusun empat huruf latin untuk melafalkan satu huruf arab. Lebih parah lagi kekacauannya bila bila berdampingan ث  yang mati dengam lafal ذ   [dzal] yang bertasydid yang dalam susunan akan huruf latin menjadi enam huruf bersusun. Misalnya  يلهث ذلك   yang menurut huruf latinnya menjadi yalhatsdzdzalik.
3.      berikutnya Syekh Azra`i Abdurra`uf menjelaskan tentang rangkulan dua huruf lagi pengganti huruf  ط  yang direfresentasikan dengan th. Kalau dikaji dan dibahas antara huruf yang menggantikan yaitu huruf t [ ت ] dan h [ ح ] dengan huruf ط sungguh jauh sekali berbeda. Huruf ط memiliki sifat tafkhim, yakni penuh suara di mulut ketika palafalannya, sedangkan ت  bersifat tarqiq, yang maksudnya tidak penuh suara di mulut ketika pelafalannya. Dalam pada itu ط huruf yang memiliki sifat yang kuat dan lagi termasuk huruf qalqalah, sementara itu huruf ح adalah sifat huruf yang paling lemah. Hal itu ditambah lagi kedua huruf yang menggantikan th [ ت dan  ح ] tidak satupun yang tergolong sebagai huruf qalqalah.
G.    Penukaran Baris dengan Huruf
Dalam pembahasan ini, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan tentang penukaran baris dengan huruf ketika melakukan transliterasi agar bunyi tersebut dapar terakomodir di dalam bacaan. Syekh Azra`i Abdurra`uf memulai kajian ini dengan pembahasan di seputar tanwin. Tanwin merupakan suara nun mati [ ن ] dalam pelafalan tetapi tidak tercantum di dalam dalam tulisan huruf. Namun ketika ditransliterasikan ke dalam huruf latin maka mau-tidak mau harus dituliskan dalam dengan huruf ‘n.’ Ini merupakan penambahan huruf dalam kalimat Al-Qur`an, sehingga berobah pulalah keadaan akhir kalimat yang keadaan barisnya fathah atau dhammah ataupun kasrah.
Selanjutnya beliau mengomentari pula bahwa terjadi keganjilan dan kelucuan yang menunjukkan kemiskinan huruf latin, yaitu terkait dengan huruf ع  . Jika huruf tersebut berbaris atas ditompangkan kepada huruf a, bila ia berbaris bawah ditompangkan kepada huruf i dan bila berbaris depan ditompangkan kepada huruf u. ini semua menunjukkan ketimpangan dan kekurangan huruf latin. Oleh sebab itu, huruf latin tidak mampu mengakomodir huruf arab tersebut.
Menjelang akhir pembahasannya, Syekh Azra`i Abdurra`uf menunjukkan kekhawatirannya akan terjadinya musibah bagi kaum muslimin apabila memadakan bacaan kaum muslimin dengan menggunakan aksara latin. Tanda-tanda serangan kepada kaum muslimin melalui penulisan Al-Qur`an sudah ditemukan di Mesir sebagaimana yang dilakukan oleh Taufiq Hanna. Dengan tegas Syekh Azra`i Abdurra`uf mengatakan:
“… bila  sudah meluas Al-Qur`an berhuruf latin di tanah air kita ini dan kelihatannya akan cukup mudah dan cepat meluasnya, karena telah dirasakan oleh orang awam kecocokannya, dan tidak ada bedanya maupun dari segi huruf pelazan, maka besar pulalah kemungkinan akan timbul kata-kata yang mendekati tulisan Taufiq Hanna itu, umpamanya saja, al-Qur`an ini sekarang sudah menumpang tulisan latin karena tidak mempunyai lagi tulisan Arab itu…”[28]
Dalam kajian Syekh Azra`i Abdurra`uf tersebut, ia menyimpulkan hasil kajiannya sebagai berikut:
1.        bahwa baginorang yang memadakan membaca al-Qur`an dengan tulisan huruf latin, seumur hidupnya tidak akan mengenal al-Qur`an yang asli menurut yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat.
2.        bahwa cara bacaan yang menurut tulisan latin itu akan berkelanjutan sampai akhir hayatnya.
3.        bahwa tidak terjamin shah shalatnya bagi yang memadakan membaca al-Qur`an dengan huruf latin, karena menyangkut dengan bacaan Fatihah-nya sebagai rukun shalat.
4.        bahwa yang dapat dihukun darurat adalah bagi orang yang terus tidak dapat terbentuk lidahnya, atau bagia orang yang ketiadaan guru.
5.        bahwa orang yang beruntung dan bahagia dalam hidupnya adalah orang yang mau belajar membaca Al-Qur`an dengan perantaraan guru, karena nilai yang dicapai adalah mempunyai silsilah sampai kepada Rasulullah saw., sampai kepada Jibril as., dan samapai ke Lauh al-Mahfuz.
Dari kesimpulan ini dapat dipahami bahwa Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak sependapat dengan pelestarian transliterasi ayat-ayat al-Qur`an ke dalam bahasa latin. Hal ini menyangkut masalah substansi bacaan dan mafsadat yang akan dilahirkan dari hal tersebut.
B. Pemikiran di dalam Karya-karya Syekh Azra`i
    Abdurra`uf dalam Ilmu al-Qur`an dan Tafsir
Syekh Azra`i Abdurra`uf juga meninggalkan catatannya tentang  sekilas ilmu al-Qur`an dan at-tafsir. Hal ini ditemukan ketika beliau akan membahas penafsiran Al-Qur`an. Di dalam makalah tersebut belaiu menguraikan beberapa hal yang perlu diketahui oleh yang ingin mengetahui tentang penafsiran al-Qur`an.
Dalam kajian ini, Syekh Azra`i Abdurra`uf memulainya dengan pembahasan di seputar pengertian tafsir. Menurutnya, makna tafsir dalam perspektif lughah adalah:
الإيضاح والتبيين
Setelah menjelaskan tafsir menurut lughat, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan defenisi tafsir secara ternimologi. Hal ini menunjukkan cara penguraian yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf tetap mengacu kepada kebiasaan para ulama ulumul quran sebelumnya. Beliau menulis sebagai berikut:
علم يبحث فيه عن القرأن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر طاقة البشرية[29]
Artinya: Ilmu yang dibahas padanya mengenai al-Qur`an al-Karim dari segi tunjukan maksudnya atas yang dikehendaki Allah Taala sekedar kesanggupan manusia.
            Jika dibanding dengan defenisi yang diberikan oleh Muhammad Ali as-Shabuni tentang tafsir, maka ditemukan perbedaan redaksi, yaitu:

وأما التفسير في الإصطلاح  فهو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه[30]
Artinya: Adapun tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. dan menerangkan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.
Definisi Muhammad Ali ash-Shabuni persis mengacu kepada definisi yang diberikan oleh al-Zarkasyi di dalam al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur`an.[31] Namun pada substansinya, defenisi yang dikemukakan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf adalah sama. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa tafsir merupakan suatu disiplin ilmu Al-Qur`an yang bertujuan untuk memahami firman Allah yang ada di dalam kitab-Nya, menjelaskan maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hanya saja defenisi yang dikemukakan Muhammad Ali ash-Shabuni lebih sfesifik ketimbang yang dikemukakan Syekh Azra`i Abdurra`uf, sebagaimana yang akan disebutkan berikutnya. Namun demikian, pada kesempatan yang lain, Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni mendefenisikan tafsir persis sama dengan yang didefenisikan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf. Oleh sebab itu, ada kemungkinan bahwa defenisi yang dikemukakan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf mengacu kepada defenisi yangd dikemukakan oleh Muhammad Ali ash-Shabuni, yaitu:
علم يبحث فيه عن القرأن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر طاقة البشرية[32]
Artinya: Tafsir adalah ilmu yang membicarakan tentang Al-Qur`an al-Karim dari sisi tunjukannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah Taala menurut ukuran kemampuan manusia.
Dalam dua definisi di atas ditemukan adanya kesamaan persepsi memandang tafsir sebagai suatu disiplin ilmu Al-Qur`an. Objek sentral kajiannya juga sama, yaitu Al-Qur`an. Namun demikian ditemuka adanya perbedaan penekanan (stressing point) dalam penyajiannya. Jika pada definisi pertama lebih bersifat aplikatif, maka pada definisi kedua ini menekankan substansinya. Dalam pada itu, definisi kedua ijuga mengindikasikan secara implisit bahwa tafsir mengandung relativitas dan perbedaan. Sebab, kendatipun tafsir dinyatakan membahas tunjukan Al-Qur`an sesuai dengan ke-mauan Allah tetapi hal itu dilakukan dan diukur berdasarkan kemampuan manusia. Dalam hal yang terakhir inilah ditemukan kerelativitasan tersebut, karena kemampuan manusia dalam menafsirkan Al-Qur`an tentu berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pendidikan, sosio-kultural, kecerdasan, dan hidayah yang diterimanya.
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir adalah cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar terhadap kandungan kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukumnya dan hikmahnya.
Setelah mengemukakan tentang defenisi tafsir, Syekh Azra`i Abdurra`uf menjelaskan tentang tokoh-tokoh tafsir pada masa sahabat Nabi saw.
Menurut beliau ditemukan di antara sahabat Nabi beberapa orang ulama yang dikenal memiliki ilmu Al-Qur`an pada masa hidup Nabi saw. Di antaranya adalah Khulafa` ar-Rasyidun, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, setelah itu Ibn Mas‘ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy`ari, dan Ibn Abbas. Mereka ini dikenal dengan pengatahun Al-Qur`an-nya.
Setelah menjelaskan sahabat yang ahli tafsir, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan ahli tafsir dari kalangan tabiin. Sebagian dari murid-murid sahabat ada yang muncul menjadi ulama tabiin.  Pada eranya mereka merupakan imam dalam ilmu tafsir. Di antaranya adalah sejumlah murid Ibn Abbas ra. di Makkah dan Thaif, murid-murid Ubai bin Ka‘ab dan tokoh lainnya yang tergolong sebagai ulama Sahabat di Madinah seperti Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah, murid-murid Ibn Mas‘ud di Kufah, dan murid-murid Anas bin Malik di Bashrah. Dari tangan-tangan mereka lah berkembang luas studi tafsir di seluruh Makkah, Madinah, dan Irak. Di antara ulama tabiin yang paling dikenal dalam bidang tafsir adalah:
  1. Penduduk Makkah
-          Sa‘id bin Jubair (w. 94), ia dibunuh oleh al-Hajjaz dalam keadaan sabar.
-          Mujahid bin Jabar (w. 103)
-          ‘Ikrimah, maula Ibn ‘Abbas (w. 105)
-          Thawus bin Kaisan (w. 106)
-          ‘Atha` bin Abi Rabah (w. 114)
  1. Penduduk Madinah
-          Abu al-‘Aliyah Rafi‘ bin Mahran ar-Riyahi (w. 93)
-          Muhammad bin Ka‘ab al-Qurzhi (w. 117)
-          Zaid bin Aslam (w. 136)
  1. Penduduk Iraq
-          ‘Alqamah bin Qais an-Nakha‘I (w. 61)
-          Masruq bin Ajda‘ (w. 63)
-          Aswad bin Yazid (w. 74)
-          al-Hasan al-Bashri (Hasan bin Abi al-Hasan) (w. 110)
-          Qatadah bin Da‘amah as-Sadusi (w. 117)
-          `Atha` bin Abi Muslim al-Khurasani
-          Murrah al-Hamdani al-Kufi
Sesungguhnya, nama-nama tokoh yang disebutkan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf di sini hanya segelintir dari jumlah mereka. Di dalam kitab-kitab ulumu al-Qur`an yang besar dapat dirujuknya lebih banyak lagi. Penyebutan para tokoh ini bertujuan agar para pengkaji tafsir mengetahui kedudukan mereka, sebab kajian tentang biografi mereka merupakan bagian dari pintu ilmu. Di sinilah kesadaran itu diniscayakan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf.
Menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf, al-Qur`an menurut istilah adalah:
اللفظ المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم المتعبد بتلاويه
Artinya: Lafal yang diturunkan atas Nabi saw. yang menjadi ibadat dengan membacanya.
Perkataan lafal yang diturunkan kepada nabi saw., yang terdapat di dalam defenisi di atas mengindikasikan bahwa setiap lafal yang tidak diturunkan kepada Nabi saw., seperti hadis Nabi saw. Tidak termasuk juga ke dalam hal ini setiap lafal yang bukan diturunkan kepada Nabi saw., seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa sa., dan Injil diturunkan kepada nabi Isa as. Sementara itu lafal yang mengatakan menjadi ibadah membacanya, maka hal itu khsus kepada Al-Qur`an.
Syekh Azra`i Abdurra`uf juga mengetengahkan makna ayat. Mengetahui hal ini memang diperlukan bagi orang yang mempelajari tafsir Al-Qur`an. Ayat menurut beliau memiliki makna yang beragam. Pertama, ayat bermakna mu`jizat sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur`an:
 Artimya: Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran/mu`jizat) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". Dan barangsiapa yang menukar ni`mat Allah setelah datang ni`mat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.
Ayat juga dapat bermakna ajaib, sebagaimana yang terdapat di dalam surah al-Isra` ayat 1:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran/keajaiban) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Selanjutnya juga ditemukan ayat bermakna dalil sebagaiman yang terdapat pada surah ar-Rum ayat 22:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (dalil) bagi orang-orang yang mengetahui.

Ayat juga dapat bermakna tanda atau alamat sebagaimana yang terdapat di dalam surah al-Baqarah ayat 248:
Artinya: Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda (alamat) ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
            Semua makna ayat yang dijelaskan di atas, adalah ayat dalam pengertian lughah. Setelah mengemukakan pengertian di atas, Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan pula makna ayat yang dikehendaki di dalam ulum al-Qur`an:
طائفة من كلمات القرأن ذات مطلع وفاصل
Artinya: Kumpulan dari kalimat-kalimat al-Qur`an yang mempunyai pembukaan (permulaan) dan pemisahan (akhir ayat).
Dalam kaitan ini Syekh Azra`i Abdurra`uf menegaskan bahwa akhir dari tiap-tiap ayat itu namanya fashilah, ra`s al-ayah, dan akhir ayat. Jika suatu kalimat dibaca tidak sampai kepada fashil kalimat maka tidaklah dikatakan satu ayat, kendatipun kalmiat yang dibaca tersebut panjang. Sebaliknya, kendatipun yang dibaca itu sangat pendek, namun sampai kepada fashil-nya maka dihitung satu ayat, misalnya contoh berikut ini:
Setiap dari lafal yang memiliki fashil tersebut disebut ayat. Demikian juga dengan huruf muqaththa`ah, seperti:
   
Namun ada juga dari huruf muqaththa`ah yang tidak dihitung satu ayat misalnya:
     
Seluruh ayat ini, tidak dihitung satu ayat di dalam Al-Qur`an. Memang di dalam mushhaf cetakan di Indonesia, tidak ada yang memberi tanda fashil terhadap ayat-ayat tersebut. Setelah menjelaskan hal ini Syekh Azra`i Abdurra`uf mengemukakan uraian tentang uraian di seputar pembahasan ayat-ayat tersebut, seperti lafal-lafal yang terkait dengan sumpah pada surah-surah pendek, dan lainnya.
Dalam pada itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf juga menegetengahkan tentang khilaf ulama di seputar pembagian ayat pada surah al-Fatihah. Surah al-Fatihah disepakati tujuh ayat. Namun mereka berbeda pendapat tentang peletakan pembagainnya. Menurut mazhab asy-Syafii, basmalah adalah satu ayat dari tujuh ayat pada surah al-Fatihah, namun menurut mazhab Hanafi, basmalah bukanlah bagian dari ayat al-Fatihah. Oleh sebab itu, mereka mengatakan tujuh ayat tersebut tidak termasuk basmalah. mereka membagi ayat yang terakhir dari surah al-Fatihah tersebut menjadi dua ayat, yaitu:
Lafal al-Qur`an ini dinyatakan satu ayat, dan lafal berikutnya satu ayat, yaitu:
Syekh Azra`i Abdurra`uf meneyatakan pula bahwa penetapan pembagian ayat pada surah al-Fatihah tersebut berimplikasi kepada masalah fiqh, yakni kewajiban membaca surah al-Fatihah di dalam shalat.
Menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf, tertib (susunan) ayat surah yang ada di dalam Al-Qur`an adalah bersifat tauqifi, yaitu ketetapan dari Rasulullah saw., dan bukan hasil pendapat atau ijtihad dari para sahabat dan ulama kaum muslimin. Setiap kali Jibril turun, ia memberitahu tentang tartib ayat-ayat dan surah-surahnya tersebut. Tartib atau urutan yat tersebut merupakan ijma` kaum muslimin. Hal ini dikutip oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf dari keterangan az-Zarkasyi di dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an dan Abu Ja`far di dalam al-Munasabat.[33]
Surah menurut Syekh Azra`i Abdurra`uf adalah kumpulan yang terkandung atas ayat-ayat al-Qur`an yang mempunyai permulaan dan penutup yang minimalnya tiga ayat. Lebih lengkap beliau menulis sebagai berikut:
طائفة مشتملة على أيات القرأن ذات فاتحة وخايمة التى أقلها ثلاثة أيات
Artinya: Kumpulan yang terkandung atas ayat-ayat al-Qur`an yang mempunyai permulaan dan penutup yang sekurang-kurangnya tiga ayat.
Surah-surah tersebut memiliki nama khusus yang keseluruhannya ditetapkan berdasarkan tauqifi. Oleh sebab itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak mengakui pendapat yang mengatakan bahwa penamaan itu dari para sahabat. Namun pemberian nama atas klasifikasi seperti surah ath-Thiwal, al-Mi`un, al-Matsani, dan al-Mufashshal berdasarkan ijtihad para sahabat Nabi saw.
Ath-Thiwal, adalah surah yang mengandung jumlah ayat-ayatnya terbanyak. Yang tergolong ke dalam klasifikasi ini adalah surah al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa`, al-Ma`dah, al-An`am, al-A’raf, dan surah al-Anfal berserta al-Bara`ah. 
Al-Mi`un, jumlah ayatnya adalah ratusan namun tidak sampai kepada jumlah at-Thiwal. Al-Matsani, adalah surah yang mengandung jumlah ayat kurang dari seratus ayat. Al-Mufashshal adalah suarah yang mengandung ayat-ayatnya sedikit yang keseluruhannya ada pada akhir juz di dalam Al-Qur`an.
Setelah menjelaskan hal ini, Syekh Arai mengetengahkan pula khilaf tentang tertib surah. Namun kecenderungannya sebagaimana yang telah disebutkannya sebelumnya adalah pengurutan surah tersebut berdasarkan tauqifi.
Dalam pada itu, Sahabat ra. membiasakan ayat Al-Qur`an sebagai wiridnya sesuai dengan kesanggupan dan kelapangan waktunya. Sebagian mereka ada yang tamat membaca Al-Qur`an dalam tiga hari, ada juga yang mengatakan hanya dalam satu malam; sebagian yang lain ada pula yang menamatkan membaca Al-Qur`an satu minggu, dua minggu, atau ada juga yang satu bulan. Demikian juga umat setelah mereka ada yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an lima ayat-lima ayat atau sepuluh ayat-sepuluh ayat atau seumpamanya. Dari sini diketahui adanya penggolongan (tajzi`ah), pengkategorisasian (tahzib), pembagian (taqsim) untuk memudahkan melakukan bacaan wirid, batas bacaan, dan pengajaran. Diriwayatkan bahwa al-Hajjaj bin Yusuf (w. 95) yang menjadi gubernur Bashrah telah mengumpulkan ahli-ahli Al-Qur`an dan memerintahkan mereka untuk menghitung hurup Al-Qur`an dan memberikan (tanda) batas setengah, sepertiga, seperempat, sepertujuh sesuai dengan jumlah pembagian huruf Al-Qur`an.
Setelah al-Hajjaj, muncul pula beberapa kaum pada awal abad kedua, mereka membagi Al-Qur`an berdasarkan pembagian bilangan ayat sepeti setengah, sepertiga, seperempat, dan sebagainya hingga sampai sepersepuluh. Akhirnya, sekitar abad kedua umat sampai pada pengelompokan Al-Qur`an dalam 30 juz yang diprakarsai oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy (w. 193). Kemudian, dari 30 juz tersebut dibagi setiap juznya dua hizb dan setiap hizb dibagi empat rubu‘ dan delapan taisir untuk keperluan para penuntut ilmu dan batasa pengajaran. Pembagian dan pengelompokan seperti di atas dipakai hingga saat ini. Mulai dari pemberian titik, baris sebagai tanda baca hingga pengelompokan berdasarkan juz, hizb, taisir, dan lainnya terlahir dari hasil ijtihad para ahli Al-Qur`an (qurra`). Anda lihatlah bahwa seluruh pembagian tersebut dibangun di atas perhitungan huruf atau ayat namun tidak mempengaruhi makna ayat-ayat Al-Qur`an.  
Namun, keterangan tentang taj`ah dan tahzib ini tidak dimasukkan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf di dalam mukaddimah tafsirnya. Hal ini hanya berdasarkan keterangan yang ditemukan di dalam kajian-kajian beliau.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka ditemukan bahwa Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak saja menguasai dalam bidang tajwid, fashahah, dan lagu, tetapi juga benar-benar mengetahui secara mendalam disiplin ilmu-ilmu Al-Qur`an lainnya termasuk ulum al-Qur`an. Selain itu, Syekh Azra`i Abdurra`uf juga memahami secara baik dan mendalam tentang tafsir Al-Qur`an, sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.
C. Pemikiran di dalam Karya-karya Syekh Azra`i Abdurra`uf dalam Tafsir
Apa yang akan dituliskan di dalam uraian berikut ini merupakan pemikiran Syekh Azra`i Abdurra`uf berkenaan dengan tafsir Al-Qur`an. Sesungguhnya, buku yang ditulisnya berkenaan dengan tafsir hanya sebagian kecil dari kegiatan penafsirannya terhadap Al-Qur`an dari sekian banyak yang diajarkannya kepada murid, majlis, halaqah, dan mahasiswanya. Namun, dari makalah dan tulisan tersebut kita dapat sedikit menelusuri kerangka berfikir dan corak penafsiran yang beliau pakai ketika menafsirkan al-Qur`an. Oleh sebab itu, di dalam tulisan ini akan dihadirkan beberapa ayat dan surah yang ditafsirkannya sebagai bahan acuan.
Dalam kajian ini penulis terlebih dahulu mengemukakan sample penafsiran Syekh Azra`i Abdurra`uf di dalam beberapa surah dan ayat. Setelah itu penulis baru melakukan analisis tentang berbagai asfek dari penafsiran Syekh Azra`i Abdurra`uf, mulai dari metodelogi, corak, dan materi penafsiran. Di antara surah yang ditafsirkan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf adalah:
  1. Sampel penafsiran Syekh Azra`i Abdurra`uf terhadap Ayat-ayat Al-Qur`an
Sampel yang diambil di sini adalah satu ayat dari Surah al-Fatihah, tepatnya ayat pertama dari surah tersebut.
Makna kalimat: dengan nama Allah yang bersifat rahman; yang bersifat rahim.
a. Makna Kalimat:
Keduanya pada lughah adalah kalimat yang menunjukkan sifat lembut dan kasih sayang yang sangat diiringi dengan pemberian-pemberian dan ihsan. Dan pemakaian keduanya adalah untuk mubalaghah [lebih dari keadaan biasa], tetapi الرحمن  lebih mubalaghahnya daripada الرحيم. Dan lagi bahwa kalimat الرحمن khusus bagi Allah swt., dan tidak boleh dipakaikan kepada lainnya. Sedangkan kalimat الرحيم boleh bagi Allah Taala dan boleh dipakaikan bagi yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut boleh kita katakan bahwa pada si Mahmud itu ada padanya perasaan rahim terhadap anak-anak yatim. Tetapi tidak boleh dikatakan ada padanya perasaan rahman terhadap anak-anak yatim. Karena sifat tersebut khusus bagi Allah swt.
Dan bagi dua sifat tersebut bermacam-macam pendapat tentang maknanya yang dipakaikan pada Allah swt. Perkataan Sayyidina Isa as., bahwaالرحمن  itu mencakup kasih sayang di dunia dan kasih sayang di akhirat, sementara الرحيم  pada akhirat saja. Adapula yang mengatakan bahwa الرحمن adalah kasih sayang di dunia dan الرحيم adalah kasih sayang di akhirat. Ada juga yang mengatakan bahwa  الرحمن  untuk umum dengan makna “Yang memberi rezki yang mencakup mukmin dan kafir”. Sementara الرحيم untuk khusus, dengan makna  غفور  [Maha Pengampun] dikhususkan bagi orang mukmin semata.
            Berdasarkan nukilan di atas, kelihatannya Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak saja mengurai makna etimologi kalimat mufradat yang ada pada ayat, tetapi juga ia telah masuk ke dalam ranah penafsiran. Namun, penafsiran yang sesungguhnya itu ada pada pasal khusus sebagaimana yang akan ditemukan berikut ini.
b. at-Tafsir:
Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang bersifat rahman lagi rahim. Pada tiap-tiap kali dilafazkan [maka] ada padanya kalimat yang ditaqdirkan menurut pekerjaan yang dimulai dengan بسم الله الرحمن الرحيم أقرأ   yang maknanya, “Dengan nama Allah yang bersifat rahman lagi rahim, aku memba.” Bila pekerjaan itu makan atau minum maka taqdirnya بسم الله الرحمن الرحيم أكل أو أشرب yang maknanya dengan nama Allah yang bersifat rahman lagi rahim aku makan atau aku minum.
Setelah melakukan penafsiran satu ayat dari surah al-Fatihah di atas, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf melakukan pembahasan khusus terhadap hal-hal yang terkait dengan ayat tersebut. Pembahasan khsus tersebut diberi judul dengan:
c. al-Bahts:
Sebagaimana lafaz  أعو ذ بالله من الشيطان الرجيم dinamakan dengan isti`azah, maka demikian juga dengan lafaz بسم الله الرحمن الرحيم dinamakan dengan basmalah. Dalam kaitan ini ada tiga masalah. Pertama, masalah lafaz  yang terdapat pada surah al-Naml ayat 30:
Dalam hal ini, ulama ittifaq [sepakat] bahwa ayat tersebut termasuk al-Qur`an, namun hanya dikatakan ia sebagian dari ayat. Karena ayat sepenuhnya dimulai dari:
Kedua, masalah [basmalah] yang ada pada awal surah al-Fatihah. Menurut Imam asy-Syafii basmalah pada al-Fatihah adalah termasuk ayat dan terhitung sebagai ayat pertama berdalilkan hadis dari Umm Salamah ra., yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ بسم الله الحمن الرحيم في أول الفاتحة في الصلاة و عدها أية
Inilah dalil al-Imam asy-Syafii yang menunjukkan bahwa basmalah itu ayat dari al-Fatihah. Sedangkan menurut al-Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa basmalah itu tidak termasuk ayat dari al-Fatihah berdalilkan hadis pada Shahih Muslim dari Aisyah ra., ia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفتتح الصلاة  بالتكبير والقراءة بالحمد لله رب العالمين
Hadis ini pulalah bagi mereka itu yang menunjukkan bahwa al-Fatihah tidak ada basmalahnya dan ayat pertamanya adalah الحمد لله رب العالمين  . Basmalah ditulis untuk pemisah dengan surah-surah yang lainnya dan untuk tabarruk pada permulaan bacaan.

Ketiga, masalah terkait dengan [basmalah] yang ada pada awal segala surah selain al-Fatihah, maka padanya btiga qaul [pedapat].
a)      Basmalah adalah ayat penuh pada awal segala surah, dengan perhatian bahwa awal surah al-bara`ah tidak termasuk di dalam masalah ini. Karena, semata-mata tidak ada padanya basmalah.
b)      Ia tidak dihitung ayat penuh tetapi sebagian dari ayat.
c)      Ia tidak termasuk ayat dan juga tidak sebagian dari ayat. Ia ditulis untuk pemisah dari surah-surah yang lainnya dan untuk tabarruk dipermulaan bacaan.
Setelah menjelaskan penafsiran basmalah, maka Syekh Azra`i Abdurra`uf menguraikan pula ayat-ayat berikutnya. Metode penafsiran tetap sama, demikian  juga pada surah-surah berikutnya.

  1. Analisis Terhadap Tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf
Analisis terhadap tafsir ini dilakukan dari beberapa asfek, yaitu Metode, Corak, dan Sumber Penafsiran.
  1. Metode Penafsiran
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu metodos yang dapat berarti jalan atau cara. Dalam bahasa Inggris kata tersebut ditulis dengan method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqah dan manhaj. Jika di-pahami dalam Bahasa Indonesia, maka kata tersebut dapat berarti, “Cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (di dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara menyelidiki (mengajar dan sebagainya)” [34] Definisi yang sama  dijumpai  pula di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedua buku ini kemungkinan besar mengacu kepada definisi yang diberikan di dalam Webster, sebagai berikut:
“Method: 1. A way doing anything; mode; proce-dure, process; especially, a regular, orderly define procedure or way of teaching, investigating, etc. 2. Regularity and orderliness in action, thought, or expression; system in doing things or handling ideas; and 3. Regular, orderly arrangement.”[35]
(Metode adalah 1. Sebuah cara mengerjakan se-suatu; mode; prosedur; proses; khususnya, suatu yang teratur, dengan prosedur yang teratur atau cara pengajaran dan investigasi, dan lainnya. 2. ke-teraturan dalam tindakan, pemikiran, atau eks-presi; sistem melakukan sesuatu atau ide-ide yang terarah. 3. Susunan yang tertur dan berkala).
Adapun tariqah dalam bahasa Arab juga masih dalam ruanglingkup makna yang sama, yaitu jalan, keadaan, mazhab, garis sesuatu, dan jaringan jaringan yang panjang,  sebagaimana yang dikemukakan di dalam al-Munjid berikut ini:
الطريقة ج طرائق : السيرة   :الحالة : المذهب : الخط في شيء نسيجة مستطيلة[36]
Artinya: Tariqah jamaknya tara`iq : sirah (jalan), halah (keadaan),  mazhab, al-khatt fi syai` (garis se-suatu), dan nasijah mustatilah.
Sementara itu, manhaj adalah :
الطريق الواضح [37]
Artinya: Jalan yang jelas /nyata.
Dari sejumlah keterangan yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kata metode dapat berarti cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar terhadap suatu objek. Dengan kata lain, metode dipakai atau dipergunakan untuk berbagai objek, baik itu berhubungan dengan pemikiran, maupun yang berbentuk pekerjaan fisik.
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir adalah cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar terhadap kandungan kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukumnya dan hikmahnya.[38]
Dalam pada itu, secara spesifik Ahmad Syurbasi memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir adalah cara-cara yang ditempuh dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an.[39] Sementara itu, Nashruddin Baidan membedakan antara metode tafsir dengan metodologi tafsir. Menurutnya, metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pe-mahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang di-turunkan kepada Nabi Muhammad saw.[40] Ada-pun Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafsirkan Al-Qur`an.[41] Dengan kata lain, metodologi tafsir adalah suatu ilmu yang membahas tentang metode-metode yang dipakai para ulama tafsir dalam menafsir Al-Qur`an.
Berdasarkan hal di atas maka dapat dipa-hami bahwa ada perbedaan antara metode tafsir dengan metodologinya. Metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan Al-Qur`an, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara tersebut. Dengan kata lain, metode tafsir merupakan kaidah atau kerangka yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur`an, sedangkan metodologi tafsir merupakan pembahasan ilmiah tentang metode-metode tafsir tersebut.[42]
Dalam kaitan metode tafsir yang dimaksud dalam kajian ini mengacu kepada metode yang disebutkan di dalam cakupan yang umum, yaitu suatu cara yang terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang di-turunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan cara penyajian teratur dan sistematis.
Secara metodologis tafsîr Al-Qur`an dibagi ke dalam empat klasifikasi, yaitu metode ijmâli, metode tahlîli, metode muqârin, dan metode maudu‘i. Berikut ini dikemukakan penjelasan tentang karakteristik, keistimewaan, kekurangan, dan contoh penafsiran dari metode-metode tersebut agar dapat diketahui keberadaannya.[43]
1. Metode Tafsîr Ijmâli
Dalam kaitan ini ‘Abd as-Sattar Fathullah Sa‘id di dalam al-Madkhal Ila Tafsîr al-Maudû‘i mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan metode ijmâli yaitu:
“Yang dimaksud dengan metode ijamâli (global) ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sis-tematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur`an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih  tetap mendengar Al-Qur`an padahal yang didengarnya adalah tafsîrannya.”
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa jika diacukan kepada tafsir yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf terhadap ayat al-Qur`an, maka tafsirnya, sebagai sample yang dikemukakan sebelumnya tidak dapat dinisbahkan sebagai tafsir ijmali. Alasannya, karena penafsiran yang beliau lakukan ternyata lebih panjang dari karekteristik tafsir ijmali.
Guna untuk lebih memudahkan mengenali metode tafsîr ijmâli, di sini dikemukakan beberapa karakteristiknya berdasarkan definisi yang telah dijelaskan di atas. Dalam kaitan ini, maka  dapat  dijelaskan :
a.       Metode tafsîr ijmâli ditulis dengan ringkas. Keringkasan ini menjadikan metode ini sebagai metode teringkas dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an jika dibandingkan dengan metode tafsîr lainnya. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsîr yang menggunakan metode tafsîr ijmâli tidak begitu tebal sebagaimana tafsîr yang lainnya.
b.      Metode tafsîr ijmâli menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah difahami. Dalam pe-nafsiran lafal ayat metode ini hanya menge-mukakan padanan kata dari firman Allah.
c.       Dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an, seorang mufassir yang menggunakan metode tafsîr ijmâli, menafsirkan ayat dengan mengikuti urutan ayat yang tertulis di dalam mushaf Al-Qur`an. Dengan kata lain, metode tafsîr ijmâli dimulai dari menafasirkan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
2. Metode tafsîr tahlîli
Menurut Ahmad Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences bahwa secara leksikal tahlîli berarti uraian, penerangan, pemeriksaan dan analitis. Penambahan ya` nisbah pada lafalnya, maka ia bermakna kata sifat, yaitu sesuatu yang bersifat uraian, pemeriksaan, penerangan, dan analitis. Oleh sebab itu, metode metode tafsîr tahlîli adalah sebuah cara menafsirkan ayat Al-Qur`an dengan penguraian yang luas, analisis yang dalam, dan penerangan yang jelas, serta pemeriksaan yang teliti yang dilakukan oleh mufassir.
‘Abd al-Hayy al-Farmawi menerangkan bahwa metode tafsîr tahlîli adalah sebuah metode menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, korelasinya, hingga sampai ke-pada asbâb an-nuzûl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, dan tabi‘in. metode tafsîr tahlili dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf Al-Qur`an, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini kerap kali menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi saw. sampai tabi‘in terkadang pula diiringi dengan uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang keseluruhannya diperuntukkan guna memahami kandungan Al-Qur`an secara komprehensif.
Dalam relefansi ini, ditemukan pula definisi yang dikemukakan oleh Nashruddin Baidan:
“Yang dimaksud dengan metode tahlîli ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an tersebut.”
Berdasarkan atas keterangan yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan karakteristik hasil penafsiran tafsîr dengan metode tafsîr tahlîli sebagai berikut:
a.      Metode tafsîr tahlîli ditulis dengan panjang lebar dengan menge-mukakan berbagai informasi yang terkait dengan penjelasan ayat Al-Qur`an yang ditafsîrkan. Mufassir tidak hanya menjelas-kan kandungan makna ayat, tetapi ia juga membicarakan banyak hal seperti hubungan ayat, sebab-sebab turunnya, kandungan hukum-nya, hadis yang terkait, dan pendapat ulama yang dianggap mufassir relevan dengan penafsiran yang dilakukannya.
b.      Bahasa yang digunakan dalam metode tafsîr tahlîli tidak sesederhana yang dipakai di dalam metode tafsîr ijmâli. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa informasi yang dikemukakan di dalam metode tafsîr tahlîli sangat luas mencakup berbagai problem, baik yang terkait dengan bahasa, hukum, sosial, politik, teologi, tasauf, budaya dan sebagainya. Oleh sebab itu, kosa kata yang dipakai cukup beragam sesuai dengan disiplin yang dibicara-kan.
c.       Dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an, seorang mufassir yang menggunakan metode tafsîr tahlîli, menafsirkan ayat dengan mengikuti urutan ayat yang tertulis di dalam mushaf Al-Qur`an, yaitu diawali dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf di atas, pada satu sisi termasuk tafsir tahlili. Sebab urainnya tergolong panjang dengan memasukkan barbagai asfek penafsiran, namun tafsir ini tidak mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur`an. Di sinilah penggolongannya ke dalam tafsir tahlili tidak dapat digolongkan.
3. Metode tafsîr Muqârin
Muqârin terambil dari akar kata qârana yang secara leksikal bermakna perbandingan. Tafsîr dengan metode muqârin memang mengkhususkan diri terhadap perbandingan, yaitu perbandingan teks ayat, dan pendapat para ulama. Hal ini sesuai dengan penjelasan M. Quraish Shihab sebagai berikut:
“Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antar ayat dengan ayat (juga ayat dengan hadis). Biasanya, mufassirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan ka-sus/masalah itu sendiri.”
Asy-Syurbasi mendefinisikan tafsîr muqârin dengan substansi yang sama, yaitu:
“... tafsîr berupa penafsiran sekelompok ayat-ayat yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat ulama tafsîr dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan.
Berdasarkan keterangan yang diberikan di atas, dapat dikemukakan bahwa karakteristik tafsîr dengan metode muqârin adalah:
a.       Tafsîr dengan metode ini ditulis untuk maksud perbandingan antara ayat dengan ayat disebabkan kesamaan redaksi, atau lainnya; perbandingan ayat dengan hadis yang biasanya disebabkan tunjukannya bukan pada redaksinya; perbandingan antara pendapat para ulama.
b.      Metode komparatif ditulis sebagaimana metode tafsîr tahlîli, yaitu dengan menggunakan uraian yang panjang lebar, namun demikian ia tetap pada substansinya semula, yaitu komparatif. Hal yang terakhir inilah yang membedakannya dengan metode tafsîr tahlîli tersebut.
Dalam kaitan dengan tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf, tidak mefokuskan pada sisi perbandingannya tetapi titik tekannya adalah asfek uraian makna ayat, bukan pada komparasinya. Maka tafsir ini tidak dapat digolongkan ke dalam tafsir muqarin. Namun pada hal-hal tertentu, ia biasa memberikan perbandingan, khususnya di dalam asfek hukum (fiqh).
4. Metode Tafsîr  Maudû`i
Maudû`i secara leksikal bermakna objektif atau tematis. Memang pada kenyataannya tafsîr dengan metode maudû`i beranjak dari satu objek atau tema tertentu yang kemudian dicarikan ayat-ayat yang terkait dengan pokok bahasan. M. Quraish Shihab juga memahami metode tafsîr maudû‘i sebagai suatu cara menafsirkan Al-Qur`an sesuai dengan tema yang ditetapkan. Dengan kata lain, ia adalah sebuah metode tafsîr yang berusaha mencari jawaban Al-Qur`an tentang suatu masalah yang dibahas. Demikianlah, dengan metode ini Al-Qur`an seolah-olah dipersilakan berbicara sendiri dengan tema, forum dan waktu  yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh panitia penyelenggara, yakni si mufassir.
Dalam pada itu, Nashruddin Baidan lebih luas lagi men-definisikan tafsîr maudû`i dengan:
“Metode tematik ialah membahas ayat-ayat Al-Qur`an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari Al-Qur`an, hadis, maupun pemikiran rasional.”
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik yang terpenting dari metode ini adalah:
a.       Penafsiran dilakukan beranjak dari satu tema atau objek bahasan yang telah ditentukan, apakah hal itu menyangkut doktrinal kehidupan, tema sosiologis, tema kosmologis, atau tema spiritual seperti masalah hari akhir, dan surga yang dibahas di dalam Al-Qur`an.
b.      Penafsiran yang dilakukan mufassir tidak mencakup seluruh ayat Al-Qur`an, melainkan sebagian saja yang terkait dengan tema yang dibahas.
Adapun tahap-tahap penafsiran maudû`i adalah:
1.      menentukan objek dan tema penafsiran.
2.      menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya.
3.      menelusuri sebab-sebab turunnya ayat.
4.      meneliti semua kata atau kalimat yang dipakai di dalam ayat tersebut, khususnya kosa katanya yang menjadi pokok permasalahan ayat tersebut.
5.      meganalisis dan mengkaji pemahaman ter-hadap ayat tersebut yang dilakukan para mufassir, baik mufassir klasik maupun kontemporer.
6.      keseluruhan hal yang disebutkan dalam poin di atas dibahas secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran objektif melalui kaidah-kaidah penafsiran.
Jikla diperbandingkan pula dengan tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf, maka tafsir beliau tidak dapat digolongkan ke dalam tafsir maudhu`i, sebab pembahasan tafsirnya tidak berangkat dari satu tema penafsiran. Oleh sebab itu, tafsir secara mutlak tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu metode penafsiran yang ada. Karenanya, tafsir ini merupakan salah satu tafsir ilhadi. Namun demikian, jika dilihat dari karakteristik umum, maka metode yang digunakan adalah tafsir tahlili. Akan tetapi Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak sempat menyelesaikan tafsir ini sehingga sempurna, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas.
  1. Corak Penafsiran
Dimaksud dengan corak penafsiran di sini adalah perspektif aliran, mazhab, dan disiplin yang dominan yang dipakai mufassir dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an. Paling tidak terdapat sepuluh corak penafsiran yang ditemukan dalam penulisan tafsîr tersebut.[44] Di antaranya adalah:
1. Fiqhi
Adapun yang dimaksud dengan corak fiqhi adalah penafsiran Al-Qur`an dengan menitikberatkan penafsirannya terhadap aspek hukum atau fikih. Tafsîr dengan corak ini mempokuskan diri dengan masalah-masalah hukum yang terkandung di dalam Al-Qur`an, baik yang membahas secara tematis ataupun berdasarkan urutan mushaf. Dalam hal ini, jika dilihat di dalam tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf, ia lebih cenderung ke dalam corak ini, kendatipun ia juga membahas asfek-asfek lainnya dari kandungan ayat. Namun, warna fiqh ini tetap konsisten terlihat di dalam penafsirannya.
2. Fiolosofis
Yang diinginkan dengan corak tafsîr filosofis adalah menafsirkan ayat-atar Al-Qur`an berdasarkan pendekatan filsafat baik yang berusaha mengadakan sintesis dan singkritis antara teori filsafat dengan Al-Qur`an maupun yang berupaya menolak teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat Al-Qur`an. Kelihatannya corak ini tidak diganderungi oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf. Sebab, belia tidak ditemukan menggunakan sisi filsafat di dalam penafsirannya.
3. Sufi
 Adapun yang dimaksud dengan corak sufi adalah menfasirkan Al-Qur`an berdasarkan sudut pandang tasauf. Muhammad Husain az-Zahabi mengatakan bahwa kaum sufi juga melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur`an dan memiliki buku-buku tafsîr yang tersimpan di perpus-takaan-perpustakaan Islam. Pengkajian-pengkajian terhadap Al-Qur`an dan uraian mereka berciri khas tasauf. Dalam hubungan ini tampak bahwa pengaruh-pengaruh ajaran tasauf dijustifikasi  dari ayat-ayat Al-Qur`an. Kelihatannya corak ini tidak diganderungi oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf. Sebab, beliau tidak ditemukan menggunakan sisi penafsiran isyari di dalam tafsirnya sebagai yang dilakukan oleh al-Ghazali misalnya.[45]
4. Adâb Ijtimâ`i
Dimaksud dengan corak tafsîr ini adalah tafsîr yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur`an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam satu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Al-Qur`an, yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan. Selanjutnya menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Kelihatannya corak ini tidak diganderungi juga oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf. Namun, pada kasus tertentu ia juga menafsirkan ayat dengan relitas sosial kaum muslimin. Khususnya dalam ceramah-ceramah beliau. Akan tetapi di dalam tafsir hal tersebut tidak menonjol pada sisi ini.
5. Ilhâdi
Corak penafsiran jenis ini merupakan jenis tafsîr yang belum menemukan bentuk yang jelas atau belum menjadi satu aliran tertentu yang mapan. Oleh asy-Syurbasi ia dikatakan sebagai tafsîr ilhadi. Tafsîr corak ilhâdi belum menemukan bentuk yang tegas dan jelas dan baru hanya sebuah penawaran yang belum mapan dan teruji secara ilmiah.
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan di atas, maka kecenderungan tafsir yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf lebih dekat kepada corakj tafsir fiqhi. Namun demikian, ia juga menafsirkan asfek lainnya selain asfek tersebut.
  1. Sumber penafsiran
Muhammad Ali as-Sabuni membagi tafsîr dari perspektif ini ke dalam tiga kategorisasi, yaitu tafsir bi al-ma`tsur, bi al-ra`yi, dan bi al-isyâri. Berikut ini dikemukakan deskripsi klasifikasi tafsîr tersebut, yaitu:

1. Naqli (Ma`sûr)
Seperti yang diutarakan Mahmud Basuni Faudah bahwa tafsîr riwâyah atau yang disebut juga tafsîr bi al-ma`sûr. Tafsîr ini adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan keterangan ayat-ayat Al-Qur`an sendiri atau dengan kutipan yang diambil dari hadis-hadis Rasulullah saw., atau dari ucapan para sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan keterangan di atas dipahami bahwa tafsîr bi al-ma`sûr terdiri tiga sumber penafsiran yaitu:
  1. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Al-Qur`an sendiri,
  2. Berdasarkan keterangan Sunnah Nabi saw.,
  3. Perkataan sahabat dan tabi’in.
Dengan demikian, maka tafsîr bi al-ma`sûr tersebut adalah taf-sir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, tafsîr Al-Qur`an dengan sunnah naba-wiyah, tafsîr  Al-Qur`an dengan riwayat (aśâr) sahabat dan tafsîr Al-Qur`an dengan riwayat tabi`in. kelihatannya, Syekh Azra`i Abdurra`uf menggunakan sumber ini, namun ia tidak melakukannya secara konsisten di dalam tafsirnya. Oleh sebab, itu tafsir ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya ke dalam tafsir bi bal-ma`tsur.

2. Tafsîr bi ar-Ra`y
Dimaksud dengan tafsîr bi ar-ra`y adalah memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw., menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya berdasarkan ra`y. Sementara itu, az-Zahabi mendefinisikannya sebagai berikut:
“Suatu ungkapan untuk bentuk tafsîr Al-Qur`an dengan menggunakan ijtihad. Mufassir melakukan hal itu setelah mengetahui kalam orang Arab dan tujuan pengungkapan-pengungkapan mereka; mengetahui lafal-lafal dan bentuk-bentuk dalâlah; mengetahui hal itu dengan bantuan syair Jahiliyah; asbâb an-nuzûl; mengetahui nâsikh dan mansûkh ayat-ayat Al-Qur`an tersebut; dan lain-lain yang menjadi perangkat yang dibutuhkan oleh seorang mufassir.”
Berdasarkan definisi ini dipahami bahwa Tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf sebagaimana yang disebutkan sebelumnya lebih mengedepankan tafsir ijtihadi ketimbang naqli. Oleh sebab  itu, tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir ini. Namun yang menjadi catatan bahwa tafsir yang dilakukannya didukung oleh nash berdasarkan metode istinbath hukum dengan kata lain, tafsir ini menggunkan ra`y yang prosedural dan bertang-gungjawab, bukan penafsiran ra`y semata, serampangan, tanpa kontrol kaidah penafsiran, dan tanpa dalil. Bukan!
Apa yang dilakukan oleh Syekh Azra`i Abdurra`uf tersebut sesuai dengan kriteria tafsir dalam sumber ini yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ali as-Sabuni. Belaiu mengatakan bahwa tafsîr bi ar-ra`y adalah tafsîr dengan ijtihad yang berdasarkan pada dalil-dalil yang sahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti dan dapat digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsîr Al-Qur`an atau pengertiannya. Bukan tafsîr Al-Qur`an berdasarkan atas rasio, hawa nafsu, atau sekehendak mufassir semata.
Tafsîr bi ar-ra`y yang tercela (mazmûm) adalah penafsiran yang tidak disertai dengan ilmu atau menurut kemauannya hawa nafsunya tanpa mengindahkan dasar-dasar bahasa Arab dan ketentuan syari`at. Tafsîr yang demikian disebut sebagai tafsîr mazmûm (tercela).
3.Tafsîr bi al-Isyâri
Tafsîr  bi al-isyâri merupakan tafsîr yang berdasarkan petunjuk yang tersirat dari ayat. As-Sabuni memberikan definisi bahwa yang dikehendaki dengan tafsîr bi al-isyâri sebagai berikut:
“Tafsîr bi al-isyâri adalah menakwilkan Al-Qur`an berbeda dengan lahir ayat dikarenakan adanya isyarat tersembunyi yang nyata bagi sebagian orang yang memiliki pengetahuan atau nyata bagi orang yang mengenal Allah dari orang-orang yang telah memiliki jalan tertentu dan mujahadah bagi dirinya bagi orang-orang yang telah disinari Allah pandangan mereka, lalu mereka memperoleh rahasia Al-Qur`an yang mulia atau tertuang di dalam hati mereka sebagian makna-makna yang halus dengan perantaraan ilham ilahi atau pintu rabbani yang memungkinkan (mereka) mampu mempertemukan diantaranya dan lahir ayat yang dikehendaki ayat yang mulia.”
Merujuk penjelasan di atas, maka indikasi mengatakan tafsir Syekh Azra`i Abdurra`uf ke dalam golongan tidak memiliki alasan yang kuat. Oleh sebab itu, penulis berkesimpulan Syekh Azra`i Abdurra`uf tidak menggunakan sumber ini ke dalam penafsirannya.  

BAB VI
   PENUTUP             

Nama tokoh yang dikaji dalam penelitian ini adalah Syekh Azra`i Abdurra`uf. ayahnya bernama Abdurra`uf bin Abdurrahman, Ibunya bernama Hj. Zubaidah binti Musa Nasution. Kakek dan neneknya berasal dari daerah Rantonatas berdekatan dengan Pagur, sebuah desa di Mandailing Natal.
Syekh Azra`i Abdurra`uf dilahirkan 1918 M. di Medan, Sumatera Utara. Ayahnya, Syekh Abdurra`uf adalah salah seorang ulama terkenal di Sumatera Utara, kususnya di kota Medan. Beliau disebut-sebut mewarisi ilmu dan kitab-kitab Syekh Hasan Ma`sum serta hak cetak terhadap kitab-kitab beliau.
Syekh Azra`i Abdurra`uf bersaudara sebanyak tiga orang, yaitu beliau sendiri sebagai anak yang tertua, Syekh Asmu`i (Asma`i), dan seorang perempuan bernama Rabi`ah.
Syekh Azra`i Abdurra`uf berangkat ke Saudi Arabia pada tahun 1935 M. dan kembali ke tanah Air pada tahun 1950. Setelah tiba di tanah air, ia dinikahkan dengan Hajjah Masmelan Nasution. Dan dikarunia satu orang anak yang bernama Nazlah.
Kegiatan sehari-hari Syekh Azra`i Abdurra`uf Abdurra`uf di tanah air adalah mengajar, menatar, dan memperdalam ilmunya dengan menalaah kitab-kitab. Ia merupakan guru bansa dalam hal tajwid dan qira`ah al-Qur`an. Semasa hidupnya, ia telah menjalani hampir seluruh Indonesia dan dunia Internasional sebagai guru dan juri.
Di antara kegiatan pengabdian ilmiah Syekh Azra`i Abdurra`uf yang terpenting adalah mengadakan halaqah setiap hari. Ia mengajar di berbagai maktab dan Universitas, di LPTQ dan Penatar tingkat Nasional, serta dewan juri Nasional dan internasional. Ia juga penulis produktif yang dibuktikan dari beberapa hasil tulisannya. Ia juga memiliki kepaduan ilmu al-Qur`an. Syakh Azra`i merupakan orang non Arab pertama yang mengisi `iza`ah al-Qur`an. Ia juga pernah memenangkan musabaqah tilawah al-Quran, mendapat penghargaan dari Lembaga al-Qur`an Pusat. Pada tahun 1953, ia juga diangkat menjadi Guru Besar Hafiz al-Qur`an pada perguruantinggi Tanjung Limau Simabur Padang Panjang. Beliau juga pernah mendirikan Jam`iyah al-Qurra` untuk mengkaji dan menyebarkan ilmu-ilmu al-Qur`an.

 













DAFTAR BACAAN



Al-Qur`an al-Karim
Abdul Azis, et.all (Editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003
Ahmad Syurbasyi, Qissah al-Tafsir, terj., Studi Tentang Sejarah Tafsir Al-Qur`an al-Karim, Kalam Mulia, Jakarta, 1999.
Ahmad Zuhri, (ed. Husnel Anwar Matondang) Studi Tafsir al-Qur`an Sebuah Pengantar, Hijri, Jakarta, 2005.
Ahmad Zuhri, Risalah tafsir; Berinteraksi dengan Al-Qur`an Versi Imam al-Ghazali, Cipta Pustaka, Bandung, 2007.
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarka-syi, al-Burhan fi Ulum al-Qur`an, Juz I, Dar al-Ihya` al-Kutub al-Arabiyah, 1957.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet.3, 2001
Chaidir Abdul Wahhab, Membedah Metodologi Tafsir Ahkam (ed. Husnel Anwar Matondang), Cipta Pustaka, Jakarta, 2005.
Chaidir Abdul Wahhab, Membedah Metodologi Tafsir Ahkam (ed. Husnel Anwar Matondang).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999.
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992.
Husnel Anwar, Kewajiban Tuhan: Pemikiran Kontroversial Ulama Tanjungbalai Asahan Syekh Ismail Abdul Wahhab, LP2IK Medan, 2004.
KH. Chaidir Abdul Wahhab, ed. Husnel Anwar Matondang, Membedah Metodologi Tafsir, Cipta Pustaka, Bandung, 2005
Lois Ma`luf, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-A`lam, Dar al-Masyriq, Birut, Libanon, 1986.
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985.
Muhammad Ali al-Sabuni, al-Tibyan Fi ‘Ulum al-Qur`an, ‘Alim al-Kutub, Bairut, Libanon, 1985.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pusstaka Pelaajar, Yogyakarta, 1998.
Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, William Collins, Amerika Serikat, 1980.
Syekh Azrai Abdurrauf, Pedoman Perhakiman Musabaqah Tilawatil Quran, Makalah, tt.
Syekh Azrai, Tafsir al-Qur`an: Surah al-Fatihah wa al-Baqarah wa Yasain, tt.
Taliziduhu Naraha, Research Teori Metodologi Administrasi, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.












LAMPIRAN I
Fhoto-fhoto Syekh Azrai Abdurrauf















Dikutip dari Buletin DJAM'IJATUL QURRA'
 

Syeikh 'Azra'i Abdurrauf ( 1918-1993 )
 

Syeikh 'Azra'i Abdurrauf
Ketika berangkat ke Arab Saudi kali pertama tahun 1935 M
 

Syeikh 'Azra'i Abdurrauf bersama teman-teman seperjuangan di Makkah
( lihat Bab II pada buku ini )
 

Syeikh Ahmad Hijazi, Syeikhul Qurro' di Makkah
Guru Syeikh 'Azra'i Abdurrauf
 










LAMPIRAN II
Karya-karya Syekh Azrai Abdurrauf


























Tentang Penulis.
Tentang Penulis.

            Dr, H. Ahmad Zuhri, Lc. MA, kelahiran Madina 1971 adalah alumni S3 Universitas Al-Nilain Kharthoum Sudan. Sedangkan jenjang S1 dan S2 dilaluinya masing-masing di Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar Cairo Mesir dan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Sudan. Sekarang bertugas sebagai dosen mata kuliah Al-Qur'an dan Tafsir pada Program Pascasarjana IAIN SU dan Fakultas Ushuluddin, juga sebagai tenaga pengajar Sastra Arab di Universitas Sumatera Utara.

Selain mengajar, juga aktif mengisi ceramah, seminar dan pertemuan ilmiah didalam dan luar negeri. Dan juga aktif sebagai Dewan Hakim dan pelatih di bidang tafsir pada MTQ dan STQ Sumatera Utara. Karya ilmiah yang telah di publikasikan antara lain:
-        الإسرائيليات في التفسير
  ( قصة آدم عليه السلام)
-        اختيارات الإمام النسفي في التفسير
-  الإمام أبو حامد الغزالى وجهوده في تفسير القرآن الكريم

-          Studi Al-Qur'an dan tafsir ( Sebuah Kerangka Awal ) Hijri Pustaka Utama, Jakarta 2006

-          Risalah Tafsir, Beriteraksi dengan Al-Qur'an Versi Imam Al-Ghazali. Cita Pustaka Media, bandung 2007

-          Dan buku yang berada ditangan pembaca " Syekh al-Qurra' Azrai Abdurrauf dan Perannya dalam mengembangkan ilmu-ilmu Al-Qur'an.



[1] Lembaran-lembaran makalah tersebut ada di tangan penulis dalam bentuk foto copy.
[2] Informasi tentang Syaikh Azra’i Abdurra`uf tersebut di atas, didapatkan dari dan berdasar keterangan tiga orang yang pernah menjadi murid beliau.
[3] Tokoh masyarakat yang dalam istilah lain disebut juga publik figur adalah orang yang terkemuka atau kenamaan dalam sesuatu bidang atau lapangan publik, kebudayaan, dan lain sebagainya. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, h. 1083. Syaikh Azra’i Abdurrauf merupakan orang terkemuka atau kenamaan di Sumatera utara dalam bidang ilmu al-Qur’an. Oleh karenanya beliau dalam konteks pengertian bahasa atau istilah bahsa Indonesia dapat disebut sebagai tokoh.
[4] Ulama adalah orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Lihat  Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, Jilid 5, h. 120. Mereka memiliki tugas berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, ulama adalah ahli waris para nabi. Oleh sebab itu, sesuai denga tugas kenabian dalam mengembangkan Al-Qur’an, ada empat tugas utama yang harus dijalankan oleh ulama. Pertama; menyampaikan ajaran Al-Qur’an. Kedua; menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketiga; memutuskan perkara yang dihadapi masyarakat. Keempat; memberi contoh pengalaman. Lihat Abdul Azis, et.all (Editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, Jilid 5, h. 1841 – 1842. Azra’i Abdurrauf merupakan pengembang Al-Qur’an dengan melaksanakan tugas-tugas seperti tersebut di atas. Oleh karenanya beliau dapat dan layak disebut sebagai ulama.    
[5] Taliziduhu Naraha, Research Teori Metodologi Administrasi, Jakarta: Bina Aksara, 1985, h. 105 – 106. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet.3, 2001, h 36. Lihat juga, Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985, h. 51.
[6] Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992, h. 213.
[7] Seluruh data yang terkait dengan sejarah di dalam bab ini merupakan hasil wawancara dengan dua orang tokoh kunci dalam penelitian ini, yaitu al-Hajj Buya Bahrum Ahmad. Tokoh ini adalah teman Syaikh Azra`I Abdurra`uf di Nusantara dan Sa`udi Arabia. Kedua adalah al-Hajj Syamsul Anwar bin Syekh Adnan Yahya, belia adalah salah seorang murid  dari Syekh Azra`I Abdurra`uf. Oleh sebab itu, di dalam hal ini, penulis tidak lagi memberikan catatan kaki terhadap hasil wawancara tersebut.
[8] Syaikh Abdurrauf meninggal di Makkah ketika berkunjung ke tanah Suci dan menjenguk anaknya Asma`i di Saudi Arabia.
[9] Beliau adalah seorang ulama yang terkenal di kesultanan deli. Ia memangku jabatan ulama kesultanan karena kemahirannya dan kedalaman ilmunya tentang Islam dan sastra Islam.
[10] Wawancara denganSyekh Buya al-hajj Bahrum Ahmad pada jam 20 WIB tanggal 3 September 2007 / Ramdhan 2007. Dan Sebulan sesudahnya  berpulanglah kerahmatullah Buya Bahrum Ahmad di Medan, pada hari Jumat tgl 14. Syawal 1428 H – 26 Oktober 2007 jam 10.00 WIB dan di kebumikan pada hari berikutnya di Medan
[11] Anak beliau ini sekarang tinggal di Jambi dan menikah dengan seorang dokter.
[12] Seluruh data yang terkait dengan sejarah di dalam bab ini merupakan hasil wawancara dengan dua orang tokoh kunci sebagaimana yang disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu al-Hajj Buya Bahrum Ahmad dan al-Hajj Syamsul Anwar.
[13] Syaikh Ismail Abdul Wahhab adalah salah seorang ulama besar yang menggerakkan perjuangan kaum muslimin di Tanjungbalai asahan untuk menentang penjajahan belanda. Ia wafat dieksekusi belanda di penjara simardan tanjungbalai asahan. Tokoh ini telah menulis kitab yang berjudul Burhan al-Ma`rifah. Buku ini berupakan upaya Syaikh Ismail Abdul Wahhab untuk menggerakkan semangat jihad kaum muslimin dari sisi teologisnya. Lihat Husnel Anwar, Kewajiban Tuhan: Pemikiran Kontroversial Ulama Tanjungbalai Asahan Syaikh Ismail Abdul Wahhab, LP2IK Medan, 2004.
[14] Syaikh Hasan Maksum merupakan guru dari beberapa ulama yang terkemuka di sumatera utara lainya. Sekedar menunjukan beberapa di antaranya yaitu Syaikh Abdurraman Syihab, Tuan Arsyad Thalib Lubis, Ustaz Ilyas Kadi, dan Syaikh Aburrauf. Mumurid beliau inilah belakangan menjadi ulama terkemuka di sumatera setelah wafatnya syaikh hasan maksum.
[15] Setelah kewafatan ayahnya, Syaikh Muhammad Alawi mewnggantikan ayahnya mengajar dalam ilmu hadis dan fiqh. Pemikirannya banyak sekali berseberangan dengan pemikiran Wahabi yang menjadi rujukan sekarang ini di Saudi Arabia. Lihat KH. Chaidir Abdul Wahhab, ed. Husnel Anwar Matondang, Membedah Metodologi Tafsir, Cipta Pustaka, Bandung, 2005, h. 13.
[16] Informasi tentang Syekh H. Azra’i Abdurrauf tersebut di atas, didapatkan dari dan berdasar keterangan dari murid –
murid beliau.
[17] Seluruh data yang terkait dengan sejarah di dalam bab ini merupakan hasil wawancara dengan dua orang tokoh kunci sebagaimana yang disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu al-Hajj Buya Bahrum Ahmad dan al-Hajj Syamsul Anwar.
[18] Bersumber dari draf makalah byang terkait dengan tulisan beliau.
[19] Draf buku ini belum diterbitkan, masih berbentuk manuskrif.
[20] Bersumber dari draf makalah byang terkait dengan tulisan beliau.
[21] Bersumber dari draf makalah yang terkait dengan tulisan beliau.
[22] Bersumber dari draf makalah yang terkait dengan tulisan beliau.
[23] Lembaran-lembaran makalah tersebut ada di tangan penulis (calon peneliti) dalam bentuk foto copy.
[24] Ibid.
[25]Syaikh Azrai Abdurrauf, Pedoman Perhakiman Musabaqah Tilawatil Quran, Makalah, tt., h. 1.
[26]Syaikh Azrai Abdurrauf, Ibid.

[27] Syaikh Azrai Abdurrauf, Ibid.
[28] Syaikh Azrai, ibid., h. 15.

[29] Syaikh Azrai, Tafsir al-Qur`an: Surah al-Fatihah wa al-Baqarah wa Yasain, tt., tp., h. 2.

[30] Muhammad Ali al-Sabuni, al-Tibyan Fi ‘Ulum al-Qur`an, ‘Alim al-Kutub, Bairut, Libanon, 1985, h.. 65.
8Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarka-syi, al-Burhan fi Ulum al-Qur`an, Juz I, Dar al-Ihya` al-Ku-tub al-Arabiyah, 1957, h.. 13.

[32] Muhammad Ali al-Sabuni, al-Tibyan, h.. 66.
[33] Syaikh Azrai, h. 8.

1WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indo-nesia, Balai  Pustaka, Jakarta,  1986, h.. 649.

2Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, William Collins, Amerika Serikat, 1980, h.. 1134.
[36] Lois Ma`luf, al-Munjid Fi al-Lugah Wa al-A`lam, Dar al-Masyriq, Birut, Libanon, 1986, h.. 465.
[37] Ibid., h.. 841.
[38] Chaidir Abdul Wahhab, Membedah Metodologi Tafsir Ahkam (ed. Husnel Anwar Matondang), Cipta Pustaka, Jakarta, 2005, h. 33.

10Ahmad Syurbasyi, Qissah al-Tafsir, terj., Studi Tentang Sejarah Tafsir Al-Qur`an al-Karim, Kalam Mulia, Jakarta, 1999, h.. 231.
11Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pusstaka Pelaajar, Yogyakarta, 1998, h.. 1.
12Ibid., h.. 2.
[42] Chaidir Abdul Wahhab, Membedah Metodologi Tafsir Ahkam (ed. Husnel Anwar Matondang), h. 34.
[43] Ahmad Zuhri, (ed. Husnel Anwar Matondang) Studi Tafsir al-Qur`an Sebuah Pengantar, Hijri, Jakarta, 2005, h. 190.
[44] Ahmad Zuhri, h. 195.
[45] Tentang tafsir al-Ghazali lihat tulisan Ahmad Zuhri, Risalah tafsir; Berinteraksi dengan Al-Qur`an Versi Imam al-Ghazali, Cipta Pustaka, bandung, 2007, h. 189.